Blogger Template by Blogcrowds

I. Mukadimah

Sesungguhnya segala puji hanya kepunyaan Allah semata. Kita memuji-Nya, kita memohon pertolongan-Nya, kita ampunan kepada-Nya, kita berlindung di bawh naungan-Nya dari keburukan diri kita dan keburukan amal kita. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat, dan pengikutnya hingga hari akhir.

1.1 Rumusan Penelitian

Tafsir Fi Zhilalil Qur’an merupakan sebuah tafsir yang sangat monumental, dan banyak menuai kontroversial di kalangan ulama masa kini. Karena tafsir ini memiliki pengaruh yang sangat kuat di masyarakat, khususnya dalam bidang pergerakan, maka kami berusaha mengangkatnya dalam studi kami. Maka sudah tentu, pembahasan ini akan jadi sangat panjang, untuk itu kami mencoba merumuskan pembahasan kami sbb:

1. Riwayat sang pengarang tafsir Fi Zhilalil Qur’an.

2. Pemikirannya.

3. Pandangan tokoh lain terhadap dirinya.

4. Karya-karyanya, dan

5. Metodologi tafsirnya.

II. Profil Tokoh

2.1 Riwayat Hidup Sayyid Quthb

Nama lengkap beliau adalah Sayyid Quthb bin Ibrahim Husain. Belaiu lahir di Muasyah, propinsi Asyuth, di daratan tinggi Mesir, pada tanggal 9 Oktober 1906. Pendidikan awal beliau adalah Madrasah Ibtidaiyah di desanya pada tahun 1912 dan lulus tahun 1918. Revolusi tahun 1919 di negerinya membuat Sayyid Quthb berhenti dari sekolah selama dua tahun. Terakhir sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Sejak kecil kakak kandung dari pemikir Muhammad Quthb ini telah dikenalkan dan dibesarkan dalam lingkungan Islami. Sebagaiman tradisi kaum Muslimin, sejak kecil Sayyid Quthb dididik secara ketat oleh kedua orang tuanya. Hasilnya cukup bisa dibanggakan. Belum genap usia sepuluh tahun, Quthb telah hapal al-Qur’an. Kemampuannya tersebut sesuai dengan harapan ibunya. Dalam buku hariannya, Taswir al-Fanni Fi al-Qur’an, beliau menyatakan, “Harapan terbesar ibu adalah agar Allah berkenan membuka hatiku, hingga aku bisa menghafal al-Qur’an dan membacanya di hadapan ibu dengan baik. Sekarang aku telah hafal, dengan begitu aku telah menunaikan sebagian harapan ibu.”[1]

Pendidikan beliau berlanjut ditahun 1920, di Kairo, dengan masuk ke Madrasah Mu’allimin al-Alawiyyah tahun 1922, kemudian melanjutkan ke sekolah Persiapan Darul Ulum, 1925. Setelah itu, beliau melanjutkan ke Universitas Darul Ulum 1929 dan lulus tahun 1933 dengan gelar License di bidang sastra. Buku Islam pertama yang ditulis beliau adalah At-Tasawwur al-Fanni Fil Qur’an dan mulai menjauhkan diri dari sekolah sastra Al-Aqqad. Departemen Pendidikan, tempat beliau bekerja mengutusnya untuk mengunjungi Amerika, untuk mengkaji kurikulum dan sistem pendidikan Amerika. Belaiu di Amerika hanya dua tahun, lalu kembali ke Mesir tanggal 20 Agustus 1950, kemudian diangkat menjadi Asisten Pengawas Riset Kesenian di kantor Menteri Pendidikan. Tanggal 18 Oktober 1952, ia mengajukan permohonan pengunduran diri.[2]

Sosok Sayyid Quthb kecil, berkulit hitam dan dengan gaya bicara yang lembut. Oleh teman-teman sezamannya beliau dianggap sangat sensitif, kurang selera humor, tapi sangat bersungguh-sungguh, dan sangat serius dalam persoalan. Dunia tulis-menulis tidak asing bagi Sayyid Quthb. Sejak masa muda beliau telah mengasah kemampuan menulisnya. Ratusan makalah di berbagai surat kabar dan majalah Mesir memuat tulisan-tulisan beliau. Beliau sendiri menerbitkan majalah Al-‘Alam al-‘Arabi dan Al-Fikrul Jadid, selain memimpin surat kabar pekanan Al-Ikhwanul Muslimin tahun 1953. Dalam makalah-makalanya, belaiu selalu memerangi bentuk-bentuk kerusakan dan penyimpangan di kehidupan sosial, politik dan ekonomi Mesir. Pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap kerusakan ini, yakni pmerintah adalah sasaran kritikan-kritikan beliau. Selain itu, beliau selalu menjadikan Islam sebagai solusi atas segala kerusakan yang terjadi. Dengan gerak dakwah semacam ini, Sayyid Quthb selalu hadir di tengah-tengah kehidupan rakyat Mesir. Beliau menegaskan, bahwa Inggris, petinggi-petinggi kerajaan, dan pemerintah yang menjadi antek-antek penjajah dan melakukan kolaborasi dengan mereka. Tokoh-tokoh partai, feodalisme, dan konglomerat, merupakan sumber utama penyebab keterbelakangan Mesir.[3]

Sayyid Quthb menetukan jalan hidupnya untuk menjadi mujahid dakwah pada tahun 1947. Beliau mulai menyerukan kebangkitan Islam dan menyerukan dimulainya kehidupan berdasarkan Islam. Sayyid Quthb menyerukan kepada umat agar kembali aqidah salafush shalih. Pemikiran beliau sendiri adalah pemikiran salafi jihadi, yang bersih dari noda. Pemikirannya terfokus pada tema tauhid yang murni, penjelasan makna hakiki La Ilaaha illallah, penjelasan sifat hakiki iman seperti disebutkan al-Qur’an dan as-Sunnah,dan kewajiban jihad. [4]

Kunjungan Sayyid Quthb ke Amerika untuk belajar metode pendidikan Barat (Western Methodhs of Education). Ia belajar di Wilson Teachers College. Ia meraih gelar MA di universitas itu dan juga di Standford University. Setelah tamat kuliah, beliau juga sempat berkunjung ke Inggris, Swiss, dan Italia. Di Amerika beliau tinggal di kota kecil Greeley, Colorado. Beliau pernah menulis tentang kenangan beliau terhadap Colorado:

Kota kecil Greeley, di mana saya tinggal begitu indah dan sehingga saya membayangkan dan menghayalkan ini adalah surga.”

Namun, akhirnya Sayyid Quthb lebih banyak melihat sisi hitam dari Amerika dan menolak habis faham materialisme Barat. Bahkan pengalaman hidupnya lebih dari dua tahun di Amerika menjadi titik balik yang penting dalam hidupnya. Beliau tidak menjadi pengagum Amerika bahkan menjadi pengkritik Amerika (Barat) dengan seluruh sisi nilai kehidupannya.[5]

Sayyid Quthb masuk Jama’ah Ikhwanul Muslimin pada tahun 1951 M. Di awal permulaan masuknya ini, Sayyid kurang begitu memperdulikan urusan dakwah. Beliau juga belum mau berusaha untuk bertemu dengan komandan Jama’ah al-Banna yang telah mengumpulkan putra-putra Mesir pilihan langsung di bawah bimbingannya dan berada di antara barisannya. Ada dua kejadian yang menimpa beliau, sehingga mendorong diri beliau masuk kedalam divisi dakwah ini:

Pertama:

Kejadian pertama terjadi pada tanggal 13 Februari 1946 M. Pada saat itu beliau berbaring di atas tempat tidur di sebuah rumah sakit di Amerika, beliau melihat lampu-lampu hias, lampu-lampu listrik yang berwarna-warni dan beraneka ragam musik serta tarian Barat. Belia menanyakan, perayaan apa itu? Maka dijawab, “Pada hari ini di bagian Timur ada seorang musuh besar agama Kristen yang telah terbunuh.” Pada hari ini, ia mendengar kabar Hasan al-Banna telah terbunuh. Kejadian ini cukup membuat hatinya beguncang keras. Hasan al-Banna??!! Kematiannya dirayakan dengan sangat meriah di Negara Amerika. Kalau begitu orang tersebut adalah seorang yang ikhlas dan dakwahnya juga benar-benar membahayakan, sehingga membuat orang-orang Barat ketakutan.

Kedua:

Kejadian kedua terjadi di rumah pimpinan agen intelejen Inggris yang berkedudukan di Amerika. Belaiu diundang oleh pimpinan agen intelejen Inggris untuk datang ke kediamannya. Pembicaraan dimulai dengan membahas kondusi Negara-negara Timur dan masa depan mereka, kemudian beranjak ke Mesir. Ternyata diskusi tentang Jama’ah Ikhwanul Muslimin mengambil bagian cukup besar dari pembicaraan tersebut. Dipaparkan kepada beliau laporan-laporan yang sangat rinci tentang kegiatan jama’h dan berbagi aktivitas serta khutbah-khutbah al-Banna sejak jama’ah ini masih terdiri dari enam orang hingga tahun 1949.

Rincian itu menguatkan bukti bahwa mereka telah mengerahkan berbagai peralatan dan harta demi mengikuti kegiatan, berbagai aktivitas dan keadaan jama’ah Ikhwanul Muslimin. Untuk tujuan itu, mereka mempersiapkan amunisi berupa dana yang besar dan para ahli hanya karena ketakutan terhadap Islam. Maka dia yakin, bahwa jama’ah ini berada di atas keenaran. Dan mulai saat itu dia bertekad untuk masuk sebagai anggota jama’ah al-Ikhwan.[6]

Rangakaian ujian datang bertubi-tubi menghantam Ikhwnul Muslimin dan tokoh-tokoh besarnya. Pada tahun 1952 sesudah penembakan Jamal Abdul Nashir di MAnsyiyah mulailah penangkapan-penangkapan menimpa anggota-anggota Ikhwanul Muslimin. Ribuan pemuda dijebloskan ke penjara, termasuk Sayyid Quthb. Beliau tidak luput dari gelombang penangkapan tersebut. Apalagi pada waktu itu belaiu menjabat sebagai kepala seksi penyebaran dakwah.

Di penjara beliau mengalami siksaan yang sangat keras. Karena kejamnya siksaan tersebut menyebabkan paru-paru beliau mengalami pendarahan hebat, sehingga memaksa beliau untuk dipidah kerumah sakit., vonis mati dijatuhkan kepada beliau. Meledaklah kemarahan bangsa-bangsa Muslim. Mereka menumpahkan kemarahan mereka dengan mengdakan demontrasi-demontrasi di kantor kedutaan besar Mesir berbagai penjuru Negara Arab dan Negara Islam. Akhirnya Gedung Republik mengeluarkan janji untuktidak menghukum mati beliau. Pengadilan Sayyid Quthb berada pada urutan kedua dan dilaksanaka secara terbuka. Dalam siding yang dipimpin Jamal Salim ini, memvonis beliau dengan pekerjaan-pekerjaan berat seumur hidup. Selang beberapa waktu dan karena kondisi kesehatan, beliau mendapat remisi, sehingga masa tahanan beliau menjadi lima belas tehun. Sayyid ditempatkan di Liman Thurah, sebuah penjara yang berisikan ratusan pemuda al-Ikhwa. Beliau menyaksikan dengan mata kepala sendiri pembantaian anggota al-Ikhwan di Liman Thurah. Pemerintah melepaskan senjata-senjata otomatis kepada anggota al-Ikhwan, sehingga mereka terbunuh dalam satu sel penjara. Ceceran daging-daging dari dua puluh satu pemuda al-Ikhwan menempel di dinding. Sayyid Quthb menjalani hukuman dengan penuh kesabaran dan mengharap pahala dari Allah atas semua ujian ini. Sambil mendidik saudara senasib di sekelilingnya.[7]

Dari balik jeruji penjara pula sebuah syair beliau tulis dengan judul Akhi. Syair ini menggambarkan keimanan yang kuat dalam dada asy-Syahid dan gelora perjuangan dakwahnya yang tak kunjung padam. Berikut kitipan syairnya,

‘Saudaraku, engkau merdeka meski berada di balik jeruji penjara

Saudaraku, engkau merdeka meski diborgol dan dibelenggu

Bila engkau pada Allah berpegang teguh

Maka tipu daya musuh tidak membahayakanmu

Wahai saudaraku, pasukan kegelapan akan binasa

dan fajar baru akan menyingsing di alam semesta

lepaskan kerinduan jiwamu

engkau akan melihat fajar dari jauh telah bersinar

saudaraku, engkau jangan jenuh berjuang

engkau lemparkan senjata dari kedua pundakmu

siapakah yang akan mengobati luka-luka para korban

dan meninggikan kembali panji-panji jihad?”[8]

Kondisi kesehatan beliau semakin memburuk. Beliau menderita penyakit nyeri dada yang sangat. Tubuh beliau yang kurus kering terdapat daftar beberapa penyakit. Tim dokter yang merawat beliau mengabarkan kondisi beliau kepada Jamal Abdul Nashir dan menasihatinya, “Jika anda menginginkan orang ini meninggal dunia di luar penjara, bebaskan saja dia. Karena kematian bias menjemputnya sewaktu-waktu. Namun justru Jamal Abdul Nashir makah mengundu-undur pembebasan beliau. Hingga Ahmad Ablo turut campur untuk membebaskannya dari penjara. Mereka membuat kedustaan terhadap Ahmad Ablo dengan berpur-pura membebaskan beliau. Mereka memindahkan beliau ke rumah sakit al-Qatar al-‘Aini (Universitas Kairo), karena kondisi kesehatan beliaulah yang menuntut pemindahan ini. Beliau dirawat di gedung al-‘Aini selama enam bulan. Setelah itu dikembalikan lagi ke Liman Thurah.[9]

Pada bulan April tahun 1964 diadakan perayaan dalam rangka selesainya fase pertama pembangunan bendungan al-Ali. Abdussalam Arif presiden Iraq, termasuk salahsatu di antara orang-orang yang diundang. Beliau mendapat telegraf dari Mufti Iraq, yang menyuruhnya untuk memberi syafaat kepada Sayyid Quthb, agar dibebaskan dari penjara. Sehingga Abdussalam menjadi wasilah untuk membebaskan beliau. Hingga akhirnya beliau dibebaskan pada tahun 1964. Setelah bebas, Sayyid Quthb telah menyiapkan rancangan buku al-Ma’alim dan mulai mengeditnya. Setelah beliau menyerahkan kepada penerbit, maka terbitlah buku tersebut. Cetakan pertama yang diterbitkan oleh Wahbah langsung terjual habis dalam waktu yang singkat. Ini membuat intelejen Mesir sangat terkejut dan membuat orang-orang komunis gerah. Mereka mencermati buku al-Ma’alim kata demi kata, mereka sangat yakin bahwa buku tersebut akan membinasakan Ikhwanul Muslimin. Pemerintah pertama-tama berusaha membungkam para da’i yang berdakwah secara terang-terangan dengan penculikan-penculikan. Pada tahun 1965 penangkapan, pengejaran, dan pemberangusan dimulai. Sayyid Quthb ditangkap kembali pada tanggal 26 April 1965 M. Beliau dijebloskan di penjara militer yang sebelumnya berpindah dari satu penjara ke penjara yang lain. Tuduhan dilontarkan kepada Sayyid Quthb adalah berupa pengkhianatan terbesar dengan kepemimpinan beliau dalam sebuah organisasi teroris yang ingin mengubah system yang ada dengan kekuatan. Ini benar-benar suatu kenyataan dan kalimat kebenaran yang dipergunakan untuk maksud batil. Kareba sudah menjadi kewajiban bagi seorang pembela kebenaran mengajak untuk membela agamanya dan mengaplikasikan Islam dalam segala bidang kehidupan.[10]

Introgasi dan penyiksaan berlangsung terus-menerus selama setahun penuh, dari bulan Agustus tahun 1965 sampai bulan Agustus tahun 1966. Di awal masa introgasi dan masa persidangan di pengadilan beliau menjadi raksasa. Dengan berani dan tanpa takut belaiu sering mengejek para polisi pengkhianat yang menjadi hakim dan menghukum permasalahan darah dan kehormatan. Hingga meledakklah kemarahan para algojo yang menghadapi Sayyid Quthb tersebut. Dalam persidangan kali ini, dikeluarkanlah vonis mati terhadap Sayyid Quthb. Vonis mati juga dijatuhkan kepada murid beliau Muhammad Yusuf Hawasyi dan Syekh Abdul Fatah Ismail. Sayyid Quthb berkata ketika divonis mati dikeluarkan, “Segala puji bagi Allah, aku telah berjihad selama lima belas tahun sampai aku bisa meraih kesahidan ini.” [11] Pada hari senin tanggal 29 Aguatus 1966, sebelum terbit fajar, Sayyid Quthb menghadap Ilahi Rabbi setelah memainkan perannya, dieksekusi di tiang gantungan rezim Abdul Nashir. Konsekuensi ini diterimanya karena keteguhan tauhid dan keberanian beliau dalam menyampaikan al-haq. Sayyid Quthb pernah berkata, “Jari telunjuk yang setiap hari member kesaksian tauhid kepada Allah saat shalat menolak menulis satu kata pengakuan untuk penguasa tiran. Jika saya dipenjara karena kebenaran, saya rela dengan hukum kebenaran. Jika saya dipenjara dengan kebatilan, pantang bagi saya minta belas kasihan kebatilan.”[12]

2.2 Pemikiran Sayyid Quthb

Gagasan dan pemikiran Sayyid Quthb terlihat jelas dari karya-karyanya. Karyanya itu pula mencerminkan keteguhan dan ketegasan Quthb dalam memperjuangkan dan mempertahankan prinsip. Lantaran itu pula, oleh sebagian kalangan dia dikatagorikan sebagai pemikir yang beraliran keras atau radikal. [13]

Buku yang berjudul ‘Relegious Resurgence’ yang diedit Anton dan Hegland, dengan bagus menyimpulkan proyek pemikiran Sayyid Quthb dengan pernyataan, “Islam adalah deklarasi pembebasan manusia dari penyembahanterhadap sesame makhluk di muka bumi dan penyembahan yang ada hanyalah pada Allah semata.” Deklarasi Islam dalam pemikiran Sayyid Quthb itu tidak sebatas analisis filosofis dan kajian teoritis, sebagaimana diklaim sebagian penulis, tetapi sekaligus sebagai deklarasi yang bersifat progresif, aplikatif, dan reaktif. Meski demikian, di jajaran pemikir Islam di masanya, Sayyid Quthb takn bisa dikelompokkan dengan tokoh-tokoh reformis semisal Abduh, sekalipun pada beberapa sisi gerakan reformis juga tampak jelas dengan gagasan dan pemikiran Sayyid Quthb. Baginya, dengan mengambil sikap Islam (yang murni/otentik), pasrah kepada Tuhan semata-mata., manusia membebaskan diri dari otoritas yang mematikan. Kebebasan, di mata Sayyid Quthb berarti bebas untuk memilih kepasrahan kepada Tuhan. Tentang hal ini, Sayyid Quthb dan Milestone (Karachi: 1981) menulis, “Agama yang sejati merupakan deklarasi universal kebebasan manusia dari penghambaan kepada orang lain dan pada nafsunya sendiri yang merupakan sebentuk penghambaan. Ini berarti agama adalah revolusi total dan serba melingkupi melawan kedaulatan manusia dalam segala jenis dan bentuk, segala sistem dan keadaan, serta berontak sepenuhnya melawan setiap sistem di mana otoritas bias berada di tangan manusia dalam segala bentuknya.”[14]

Mecermati gagasan ini, tersirat jelas pemikiran dan gerakan Sayyid Quthb dengan karakteristik otentisisme Islam (Islam otentik) sebegitu besar ingin menampilkan Islam dalam wajah dan bentuknya yang modern, tapi memiliki sikap dan prinsip tegas.[15]

2.3 Pandangan Tokoh Lain Tehadap Sayyid Quthb

1. Imam Abdul ‘Aziz bin Baz

Sayyid Quthb (semoga Alloh mengampuninya) berkata di dalam Fi Zhilalil Qur’an (menafsirkan) firman Alloh Ta’ala :

العرش استوى على الرحمن

“Ar-Rahman (Alloh yang Maha Pemurah) yang beristiwa` di atas Arsy.” (Thoha : 5)

Beliau berkata : “Adapun istiwa` di atas Arsy dapat kita katakan bahwasanya istiwa` ini merupakan kinayah (kiasan) dari al-Haimanah (penguasaan) atas makhluk (ciptaan)-Nya ini.” [Azh-Zhilal (4/2328), (6/3408) cet. Ke-12, 1406, Darul ‘Ilmi].

Samahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullahu berkata, “Ini semua adalah ucapan yang fasid (rusak), (ia mengatakan) hal ini (istiwa`) maknanya adalah penguasaan, dan ia tidak menetapkan istiwa`. Ini artinya ia mengingkari istiwa` yang telah ma’ruf (diketahui maknanya), yaitu al-‘Uluw (ketinggian) di atas Arsy. Pendapatnya ini batil menunjukkan bahwa dirinya adalah miskin (lemah) dan dhoyi’ (kosong ilmu) terhadap tafsir.” Itulah jalan Sayyid Quthb.[16]

2. Syekh Nashiruddin al-Albani

Berkata al-‘Allamah al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullahu mengomentari penutup buku al-‘Awashim mimma fi Sayyid Quthb minal Qawashim : “Semua apa yang anda bantah dari Sayyid Quthb adalah haq dan benar. Darinya akan menjadi jelas bagi setiap pembaca sebagai suatu tsaqofah (wawasan) islamiyyah bahwasanya Sayyid Quthb tidaklah mengetahui Islam baik ushul maupun furu’nya. Semoga Alloh mengganjar anda dengan ganjaran

yang baik wahai saudara Rabi’ atas upaya anda di dalam menunaikan kewajiban menjelaskan dan menyingkap kejahilan dan penyimpangan Sayyiq Quthb terhadap Islam.”[17]

3. Syekh Muhammad Sholih bin al-‘Utsaimin

Fadhilatusy Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullahu ditanya tentang penulis kitab Fi Zhilalil Qur ’an dan manhajnya di dalam tafsir?

Beliau menjawab : “Bahwasanya telah banyak perbincangan terhadap orang ini da bukunya. Buku-buku tafsir lainnya semisal tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Sa’di, Tafsir al-Qurthubi –selain dari tasahul (sikap terlalu mudahnya) beliau di dalam (menilai) hadits- dan Tafsir (Abu Bakar) al-Jaza`iri lebih kaya dan lebih mencukupi seribu kali daripada buku ini (Fi Zhilalil Qur’an). Sebagian ulama semisal ad-Duwaisy dan al-Albani telah menyebutkan beberapa koreksi atas buku ini, dan koreksian ini telah dicetak dan dibukukan. Aku belum menelaah buku ini secara sempurna, hanya saja yang telah aku baca adalah tafsirnya tentang surat al-Ikhlash, dan ia telah berkata dengan perkataan yang dahsyat yang di dalamnya menyelisihi (aqidah) ahlus sunnah wal jama’ah, dimana tafsirannya terhadap ayat itu menunjukkan bahwa dirinya berkata dengan wahdatul wujud. Demikian pula dengan tafsirannya terhadap istiwa` yang dimaknai dengan al-Haimanah (pemeliharaan) dan as-Saithoroh (penguasaan). Perlu diketahui, bahwasanya buku ini bukanlah buku tafsir. Penulisnya sendiri saja menyebutnya sebagai Zhilalul Qur`an.[18]

III. Analisis Tentang Tafsir Fi Zhilalil Qur’an

3.1 Di Antara Karya-karya Sayyid Quthb

Sayyid Quthb meninggalkan sejumlah kajian dan studi yang bersifat sastra maupun keislaman.

1. Muhimmatusy Sya’ir Fil Hayah wa Syi’r al-Jalil al-Hadhir, terbit tahun 1933

2. Asy-Syathi’al Majhul, kumpulan sajak Sayyid Quthb satu-satunya, terbti bulan Februari 1935

3. Naqad Kitab “Mustaqbal ats-Tsaqafah Fi Mishr” li ad-Duktur Thaha Husain, terbit tahun 1939

4. At-Tashwir al-Fanni Fil Qur’an, buku keislaman Sayyid yang pertama, terbit bulan April 1945

5. Al-Athyaf al-Arba’ah, ditulis bersama saudara-saudaranya: Aminah, Muhammad, dan Hamidah, terbit tahun 1945

6. Thifl Min al-Qaryah, berisi gambaran desaya serta catatan masa kecilnya di desa, terbit tahun 1946

7. Al-Madinah al-Manshurah, sebuah kisah khayalan semisal kisah seribusatu malam, terbti tahun 1946

8. Kutub wa Syahsyiyat, sebuah studi Sayyid terhadap karya-karya pengarang lain, terbit tahun 1946

9. Asywak, terbit tahun 1947

10. Masyahid al-Qiyamah Fil Qur’an, bagian kedua dari serial Pustaka Baru al-Qur’an, terbit pada bulan April 1947

11. Raudhatut Thfil, ditulis bersama Aminah as-Sa’id dan Yusuf Murad, terbit dua episode.

12. Al-Qashash ad-Diniy, ditulis bersama Abdul Hamid Jaudah as-Sahhar.

13. Al-Jadid Fil Lughah al-‘Arabiyah, bersama penulis lain.

14. Al-Jadid al-Mahfuzhat, ditulis bersama penulis lain.

15. Al-Adalah al-Ijtima’iyah Fil Islam, buku pertama Sayyid dalam hal pemikiran Islam, terbit pada bulan April 1949

16. Ma’rakah al-Islam wa ar-Ra’samaliyah, terbit bulan Februari 1951

17. As-Salam al-Islami wa al-Islam, terbit bulan Oktober 1951

18. Fi Zhilalil Qur’an, cetakan pertama juz pertama, terbit bulan Oktober 1952.

19. Dirasat Islamiyah, kumpulan berbagai macam artikel yang dihimpun oleh Muhibbullah al-Kahthib, terbit tahun 1953.

20. Khashaish at-Tashawwur al-Islami wa Muqawwimatuhu, buku beliau yang paling mendalam yang beliau khususkan untuk membicarakan tentang karakteristik akidah dan unsur-unsur dasarnya.[19]

3.2 Metodologi Tafsir Fi Zhilalil Qur’an

Sayyid Quthb memilki suatu metode yang unik dalam tafsir yang belum pernah ditempuh oleh seorang mufassir yang ada, baik dari kalangan terdahulu maupun sekarang. Sayyid tidak pernah menyibukkan diri dengan menelaah kitab-kitab tafsir terdahulu yang berisi berbagai perbedaan pendapat dan adu argumentsi dalam berbgai macam tema keislaman. Sayyid tidak mengambil informasi-informasi pemikiran darinya, tidak mau masuk ke alam al-Qur’an berdasarkan ketentuan-ketentuan pemikiran sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh selainnya.

Sesungguhnya metode beliau merupakan buah semangat dari semangatnya untuk memasuki alam al-Qur’an tanpa berbagai ketentuan pemikiran sebelumnya, dan juga dari keyakinannya mengenai kekayaan al-Qur’an serta banyaknya makna inspirasinya. Metode beliau berdiri di atas dua tahap.

Tahap pertama, beliau hanya mengambil dari al-Qur’an saja, sama sekali tidak ada peran bagi rujukan, referensi, dan sumber-sumber lain. Ini adalah tahap dasar, utama dan langsung.

Tahap kedua, sifatnya sekunder serta penyempurnaan bagi tahap pertama, yang digunakan oleh Sayyid untuk melengkapi kekurangan yang ada pada taap pertama, atau meluruskan kekeliruannya. Tahapan ini bersandar kepada sumber dan referensi secara mendasar. Sebab ia berdiri di atas perhatian terahadap kitab-kitab tafsir untukmengetahui bukti dengan hadits atau riwayat yang shahih tentang penafsiran ayat.[20]

Ketika kita berbicara megenai sumber-sumber Zhilal, kita juga harus menyertakan kondisi khusus yang dialami oleh Sayyid Quthb ketika menulis Zhilal. Beliau menulisnya di penjara, sedangkan menulis dipenjara harus tunduk kepada syarat-syarat khusus yang diwajibkan oleh administrasi penjara yang berkaitan dengan masuknya buku-buku ke dalam penjara. Suasana penjara juga mempunyai pengaruh terhadap penulisan Zhilal. Maka semangat Sayyid di dalam penjara untuk membekali diri dengan referensi-referensi ayng menjadi sandaran merupakan bukti bahwa Sayyid memenuhi syarat metodologi dalam melakukan studi dan menulis.[21]

3.3 Metodologi bil ma’sur dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an

Kebanyakan orang melihat Sayyid Quthb sebelah mata, mereka beranggapan bahwasanya tafisr Fi Zhilialil Qur’an itu kosong dari metode tafsir bil ma’sur. Tentu saja anggapan ini tidak benar, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, Sayyid Quthb tidak lepas dari metode penafsiran yang paling utama, yaitu metodologi bil ma’sur. Di sini sedikit dipaparkan metode bil ma’sur di dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Allah SWT berfirman,

Ÿwur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ôè?ur !$ygÎ/ n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)ƒÌsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès?

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 188)

Dalam menafsirkan ayat ini, Sayyid Quthb mengedepankan riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas, ia berkata,

هذا في الرجل يكون عليه مال, وليس عليه فيه بينة, فيخد المال, ويخاصم إلى الحكّام, وهو يعرف أنّ الحقّ عليه, وهو يعلم أنّ اثراكل الحرام.

“Ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki yang berkewajiban membayar harta tetapi tidak ada bukti yang mendukungnya, lalu ia mengingkari harta tersebut dan mengadukannya kepada hakim, padahal ia tahu bahwa dirinya bersalah dan memakan harta haram.”

Sayyid Quthb juga menambahkan riwayat dari Mujahid, Said bin Jabir, Ikrimah, al-Hasan, Qatadah, as-Suddi, Muqatil bin Hayyan, ‘Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam, mereka berkata,

لا تخاصم وأنت تعلم أنّك ظالم.

“Janganlah kamu berperkara padahal kamu mengetahui bahwasanya dirimu bersalah.”

Di tambah lagi dengan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah, Rasulullah SAW bersabda,

إنّما انا بشر, وإنّما يأتيني الخصم فلعل بعضكم أن يكون ألحن بحجة من بعض فأقضي له, فمن قضيت له بحقّ مسلم فإنّما هى قطعة من النار. فليحملها أو ليذرها.

“Sesunggahnya aku hanya manusia biasa, kemudian diajukan kepadaku suatu perkara kepadku. Bisa jadi sebagian di antara kamu lebih pintar menyampaikan argumentasi dari sebagian yang lain sehingga aku memutuskan perkara untuknya. Barang siapa yang aku putuskan perkara untuknya dengan mengambil hak seorang Muslim maka sesungguhnya hal itu hanyalah sepotong api neraka. Silahkan ia membawanya atau meninggalkannya.” [22]

Allah SWT berfirman,

tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOs9ur (#þqÝ¡Î6ù=tƒ OßguZ»yJƒÎ) AOù=ÝàÎ/ y7Í´¯»s9'ré& ãNßgs9 ß`øBF{$# Nèdur tbrßtGôgB

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An’am: 82)

Dalam menafsirkan ayat ini, Sayyid mengemukakan tiga riwayat yang ma’tsur yang disebutkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, dengan isnadnya sendiri, yang menggambarkan kekhawatiran para sahabta mengenai kandungan ayat ini serta sikap mereka yang berusaha menjahui segala bentuk kezaliman. Hal ini membuat mereka bergegas menemui Rasulullah SAW, kemudian beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kezaliman di sini adalah syrik. [23]

3.4 Keistimewaan Tafsir Fi Zhilalil Qur’an

Tafsir Fi Zhilalil Qur’an merupakan tafsir kontemporer yang paling actual dalam memberikan terapi berbagai persoalan dan menjawab berbagai tuntutan abad modern ini berdasarkan petunjuk al-Qur’an. Di antara persoalan dan tuntutan abad modern yang paling menonjol adalah persoalan seputar pemikiran, ideologi, konsepsi, pembinaan, hokum, budaya, peradabaan, politik, psikologi, spritualisme, dakwah dan pergerakan dalam suatu rumusan kontemporer sesuai dengan tuntutan zaman. Berbagai persoalan ini, di samping persoalan-persoalan lainnya, menadapatkan perhatian yang memada di dalam tafsir ini. Sehingga membuat tafsir ini terasa sangat actual apalagi gagasan-gagasan Sayyid Quthb yang tertuang di dalam tafsir ini sangat orisinil berdasarkan nash-nash al-Qur’an tanpa terkontaminasi oleh pemikiran-pemikiran asing.

Karena itu tafsir Fi Zhilalil Qur’an dapat dikatagorikan sebagai tafsir corak baru yang khas dan unik, serta langkah baru yang jauh dalam tafsir. Zhilal juga dapat dikatagorikan sebagai aliran khusus dalam tafsir, yang dapat disebut sebagai “aliran tafsir pergerakan”. Sebab metode pergerakan (al-manhaj al-haraki) atau metode realistis yang serius tidak ada didapati selain pada Zhilal.

Sumber-sumber Zhilal berbeda dari sumber-sumber tafsir lainnya disebabkan perbedaan karakter dann tujuannya. Sumber-sumber dalam Zhilal itu tidaklah mendasar atau pokok (primer), akan tetapi sifatnya sekunder, sebab Sayyid Quthb menyebutkannya untuk memberikan contoh dan bukti dari yang apa yang ia katakana. Ini adalah bagian dari beberapa keistimewaan Zhilal.

IV. Penutup

Sebagian kalangan berpendapat bahwasanya Sayyid Quthb itu adalah orang yang berpaham wihdatul wujud. Di dalam tafsirnya, ia benyak menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan kemampuan bahasanya. Padahal metodologi yang harus diprioritaskan dalam penafsiran al-Qur’an adalah metodologi bil ma’tsur, yaitu metodologi penafsiran ayat dengan ayat, ayat dengan hadits, ayat dengan perkataan sahabat. Tetapi di sisi lain, tafsir Fi Zhilalil Qur’an banyak memberikan aspirasi untuk para pemuda yang ingin menjadikan kehidupan manusia dengan berlandaskan al-Qur’an. Meskipun didapati ada kekurangan dalam tafsir ini, maka janganlah kita menganggapnya sebagai kecacatan tapi anggaplah dia sebagai hamba Allah yang diliputi oleh segala kekurangan.

Walluhu A’lam…..

Daftar Pustaka

“Sayyid Quthb Pejuang Tauhid Teladan Mujahid”, Jihad Magz, Edisi.II, 2008

“Sayyid Quthb Penyemai Kebangkitan Islam”, An-Najah, Edisi Khusus, 1429 H

Abdul Fattah al-Khalidi, Shalah , Madkhal Ila Zhilalil Qur’an, (Terj.) Salafuddin Abu Sayyid, Laweyan: Era Intermedia, 2001, Cet.I

Maktabah Abu Salma al-Atsari, Fatwa-fatwa Ulama Umat Terhadap Sayyid Quthb

Quthb, Sayyid , Fi Zhilalil Qur’an, Kairo: Daar asy-Syuruq, 1992, Cet.17, jilid.I

Quthb, Sayyid, Fi Zhilalil Qur’an, Kairo: Daar asy-Syuruq, 1992, Cet.17, jilid.II

Sucipto, Hery , Ensiklopedi Tokoh Islam Dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qadhawi, Jakarta: Hikmah, 2003, Cet.I



[1] “Sayyid Quthb Pejuang Tauhid Teladan Mujahid”, Jihad Magz, Edisi.II, 2008, hal.37

[2] Ibid

[3] Ibid, hal.38

[4] Ibid

[5] Ibid, hal.37

[6] “Sayyid Quthb Penyemai Kebangkitan Islam”, An-Najah, Edisi Khusus, 1429 H, hal.17

[7] Ibid, hal.18

[8] Jihad Magz, Op.Cit., hal36

[9] An-Najah, Loc.Cit.

[10] Ibid, hal.19

[11] Ibid

[12] Jihad Magz, Op.Cit., hal.35

[13] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam Dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qadhawi, Jakarta: Hikmah, 2003, Cet.I, hal.282

[14] Ibid, hal.283

[15] Ibid, hal.284

[16] Maktabah Abu Salma al-Atsari, Fatwa-fatwa Ulama Umat Terhadap Sayyid Quthb, hal.1

[17] Ibid, hal.8

[18] Ibid, hal.13

[19] Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, Madkhal Ila Zhilalil Qur’an, (Terj.) Salafuddin Abu Sayyid, Laweyan: Era Intermedia, 2001, Cet.I, hal41

[20] Ibid, hal.175

[21] Ibid, hal.178

[22] Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an, Kairo: Daar asy-Syuruq, 1992, Cet.17, jilid.I, hal.176

[23] Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, Op.Cit. (Untuk lebih jelasnya, silahkan lihat tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Kairo: Daar asy-Syuruq, 1992, Cet.17, jilid.II, hal.1143)

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda