I. Mukadimah
Alhamdulillah segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam hanya kepada-Nya-lah kita memohon perlindungan, dan hanya kepada-Nya-lah kita memohon ampun dari segala keburukan diri kita, maupun kejelekan amal-amal kita. Barang siapa yang diberi hidayah, maka tidak akan ada yang mampu menyesatkannya. Sebaliknya, barang siapa yang telah Allah sesatkan, maka tidak ada yang mampu memberikan hidayah kepadanya. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW. Karena usaha beliaulah, kita pada hari ini dapat menikmati indahnya keidupan yang berdasarkan Islam. Tetapi kenyataannya, banyak sekali dari orang-orang yang mengaku beragama Islam, belum mengatahui atau tidak mau mempelajari hakikat agama yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, sehingga mereka menganggap agama ini terasa belum sempurna, dan perlu diadakan penambahan, baik dari segi mu’amalah maupun dari segi aqidah. Padahal Allah SWT telah berfirman,
Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. (Al-Maidah: 3)
Dari firman Allah di atas, kita dapat menyimpulkan, bahwasanya Islam adalah agama yang telah disempurnakan, dan tidak perlu lagi penambahan-penambahan. Rasulullah SAW bersabda,Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. (Al-Maidah: 3)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ يَقُولُ مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
II. Pengertian bid’ah
Katakanlah: "Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-rasul.....” (Al-Ahqaf: 9)
Maksudnya: Aku bukanlah Rasul yang pertama kali membawa risalah dari Allah kepada para hamba-Nya, tetapi sudah banyak rasul-rasul yang mendahuluiku.Katakanlah: "Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-rasul.....” (Al-Ahqaf: 9)
“Allah Pencipta langit dan bumi” (Al-Baqarah: 117)
Maksudnya: Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi tanpa contoh sebelumnya.“Allah Pencipta langit dan bumi” (Al-Baqarah: 117)
Perkataan “ابتدع فلان بدعة” memiliki arti “Dia telah merintis suatu cara yang belum pernah ada yang mendahuluinya. Begitu juga perkataah “هذا أمر بديع” memiliki arti sesuatu yang dianggap baik yang kebaikannya belum pernah ada yang menyerupaisebelumnya.
Dari makna bahasa seperti itulah pengertian bid’ah diambil oleh para ulama. Jadi, membuat cara-cara baru dengan tujuan agar orang lain mengikutinya disebut bid’ah. Suatu pekerjaan yang belum pernah dikerjakan sebelumnya oleh oran lain juga disebut bid’ah.
Sedangkan definisi bid’ah ditinjau dari segi istilah, para ulama telah banyak mendefinisikannya, diantaranya adalah:
1. Imam asy-Syatibi mendefinisikan bid’ah dengan mengatakan, “Bid’ah adalah suatu jalan yang ditempuh dalam mengamalkan din, yang merupakan suatu hal baru yang menyerupai syari’at, serta diniatkan dalam rangka beribadah kepada Allah.
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Segala sesuatu yang belum pernah disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya, atau segala sesuatu yang tidak ada suruhan sebelumnya, baik bersifat wajib, maupun sunnah.
3. Alawi bin Abdul Qadir as-Saqqaf berkata ketika beliau meringkas buku al-I’tisham karya Imam asy-Syatibi, “Bid’ah adalah suatu cara baru dalam agama, yang menandingi syari’at, dimana tujuan dibuatnya sama seperti tujuan dibuatnya syari’at tersebut. Makna kata ‘cara’ pada definisi di atas ialah sesuatu yang telah ditetapkan untuk dijalani, yang pelakunya menyandarkan hal tersebut kepada agama. Makna kata ‘menandingi syari’at’ dalam definisi di atas maksudnya adalah menyerupai cara (yang ada dalam) syari’at, tetapi sebenarnya tidak termasuk syari’at, bahkan bertentangan dengan syari’at. Adapun kata ‘di mana tujuan dibuatnya adalah untuk membuat nilai lebih dalam beribadah kepada Allah’ dalam definisi di atas, maka itulah esensi dari perbuatan bid’ah. Itulah maksud dan tujuan dibuatnya yang menyebabkan perbuatan tersebut terlarang.
III. Macam-macam bid’ah
Kita sudah mengetahui, bahwasanya bid’ah adalah suatu tindakan yang tercela, karena mengkhususkan suatu tata cara dalam agama yang tidak ada sumber sandaran dari Pembuat syari’at, bahkan keluar dari apa yang digariskan oleh-Nya. Bid’ah dalam agama mempunyai beberapa bentuk, tergantung dari sisi mana kita melihatnya.
A. Bid’ah ditinjau dari segi bentuknya
1. Bid’ah Qaliyah I’tiqadiyah (bid’ah pandangan dalam keyakinan), seperti perkataan kelompok Jahmiyah, Mu’tazilah serta seluruh kelompok sesat lainnya dan keyakinan mereka.
2. Bid’ah dalam ibadah, seperti ibadah kepada Allah dengan bentuk ibadah yang tidak diajarkan. Bid’ah ini terbagi mejadi empat bagian:
Pertama, bid’ah yang terjadi pada asal-usul ibadah. Misalnya membuat shalat yang tidak ada asal-usulnya di dalam syari’at.
Kedua, bid’ah berupa penambahan terhadap ibadah yang memang disyari’atkan. Seperti melafazkan niat ketika hendak mengerjakan shalat.
Ketiga, bid’a yang terjadi pada cara pelaksanaan ibadah yang disyari’atkan, misalnya membaca zikir bersama-sama, dan dengan berlagu.
Keempat, bid’ah berupa pengkhususan waktu tertentu untuk melaksanakan ibadah yang disyari’atkan, sementara Islam tidak mengkhususkan waktu tersebut. Seperti mengkhususkan membaca surat Yasin dimalam di malam jum’at.
B. Bid’ah ditinjau dari segi akibatnya
1. Bid’ah mukaffirah
Bid’ah mukaffirah adalah bid’ah yang dapat menjerumuskan pelakunya pada kekafiran. Seperti orang-orang syi’ah, karena mereka mengingkari atau mendustakan hal-hal yang sudah mutawatir dan wajib diketahui dalam agama.
“…..dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka.” (Al-Ahqaf: 3)
2. Bid’ah mufassiqah
Bid’ah mufassiqah hanya menjadikan pelakunya sebagai orang fasik. Bid’ah ini jika dikerjakan tidak membuat pelakunya menjadi kafir. Seperti menambah-nambah dalam hal beribadah, yang mana telah ditetapkan secara tauqifi.
C. Ditinjau dari segi ada atau tidak adanya sandaran dari dalil syar’i
1. Bid’ah hakikiyyah
Bid’ah hakikiyah adalah bid’ah yang tidak mempunyai sandaran dalil sama sekali, baik al-Qur’an, sunnah, ijma’, maupun bimbingan para ulama yang layak diterima, secara global maupun terperinci.
2. Bid’ah idhafiyyah
Bid’ah idhafiyyah mempunyai dalil, tetapi dari sisi tata caranya, hal-ihwalnya, atau rincian-rincian pelaksanaannya tidak mempunyai sandaran dalil, padahal semua itu mem butuhkan dalil.
IV. Hukum bid’ah dalam agama
A. Hukum Bid'ah dalam Agama dengan segala bentuknya adalah haram
Yang dimaksud dengan bid’ah adalah segala perkara yang dibuat-buat dalam agama yang sama sekali tidak memiliki dasar dalam syariah. Dan barangsiapa yang mencoba melakukan hal ini, maka ia akan masuk dalam ancaman Rasulullah:
Rasulullah SAW besabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هٰذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Segala sesuatu yang belum pernah disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya, atau segala sesuatu yang tidak ada suruhan sebelumnya, baik bersifat wajib, maupun sunnah.
3. Alawi bin Abdul Qadir as-Saqqaf berkata ketika beliau meringkas buku al-I’tisham karya Imam asy-Syatibi, “Bid’ah adalah suatu cara baru dalam agama, yang menandingi syari’at, dimana tujuan dibuatnya sama seperti tujuan dibuatnya syari’at tersebut. Makna kata ‘cara’ pada definisi di atas ialah sesuatu yang telah ditetapkan untuk dijalani, yang pelakunya menyandarkan hal tersebut kepada agama. Makna kata ‘menandingi syari’at’ dalam definisi di atas maksudnya adalah menyerupai cara (yang ada dalam) syari’at, tetapi sebenarnya tidak termasuk syari’at, bahkan bertentangan dengan syari’at. Adapun kata ‘di mana tujuan dibuatnya adalah untuk membuat nilai lebih dalam beribadah kepada Allah’ dalam definisi di atas, maka itulah esensi dari perbuatan bid’ah. Itulah maksud dan tujuan dibuatnya yang menyebabkan perbuatan tersebut terlarang.
III. Macam-macam bid’ah
Kita sudah mengetahui, bahwasanya bid’ah adalah suatu tindakan yang tercela, karena mengkhususkan suatu tata cara dalam agama yang tidak ada sumber sandaran dari Pembuat syari’at, bahkan keluar dari apa yang digariskan oleh-Nya. Bid’ah dalam agama mempunyai beberapa bentuk, tergantung dari sisi mana kita melihatnya.
A. Bid’ah ditinjau dari segi bentuknya
1. Bid’ah Qaliyah I’tiqadiyah (bid’ah pandangan dalam keyakinan), seperti perkataan kelompok Jahmiyah, Mu’tazilah serta seluruh kelompok sesat lainnya dan keyakinan mereka.
2. Bid’ah dalam ibadah, seperti ibadah kepada Allah dengan bentuk ibadah yang tidak diajarkan. Bid’ah ini terbagi mejadi empat bagian:
Pertama, bid’ah yang terjadi pada asal-usul ibadah. Misalnya membuat shalat yang tidak ada asal-usulnya di dalam syari’at.
Kedua, bid’ah berupa penambahan terhadap ibadah yang memang disyari’atkan. Seperti melafazkan niat ketika hendak mengerjakan shalat.
Ketiga, bid’a yang terjadi pada cara pelaksanaan ibadah yang disyari’atkan, misalnya membaca zikir bersama-sama, dan dengan berlagu.
Keempat, bid’ah berupa pengkhususan waktu tertentu untuk melaksanakan ibadah yang disyari’atkan, sementara Islam tidak mengkhususkan waktu tersebut. Seperti mengkhususkan membaca surat Yasin dimalam di malam jum’at.
B. Bid’ah ditinjau dari segi akibatnya
1. Bid’ah mukaffirah
Bid’ah mukaffirah adalah bid’ah yang dapat menjerumuskan pelakunya pada kekafiran. Seperti orang-orang syi’ah, karena mereka mengingkari atau mendustakan hal-hal yang sudah mutawatir dan wajib diketahui dalam agama.
“…..dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka.” (Al-Ahqaf: 3)
2. Bid’ah mufassiqah
Bid’ah mufassiqah hanya menjadikan pelakunya sebagai orang fasik. Bid’ah ini jika dikerjakan tidak membuat pelakunya menjadi kafir. Seperti menambah-nambah dalam hal beribadah, yang mana telah ditetapkan secara tauqifi.
C. Ditinjau dari segi ada atau tidak adanya sandaran dari dalil syar’i
1. Bid’ah hakikiyyah
Bid’ah hakikiyah adalah bid’ah yang tidak mempunyai sandaran dalil sama sekali, baik al-Qur’an, sunnah, ijma’, maupun bimbingan para ulama yang layak diterima, secara global maupun terperinci.
2. Bid’ah idhafiyyah
Bid’ah idhafiyyah mempunyai dalil, tetapi dari sisi tata caranya, hal-ihwalnya, atau rincian-rincian pelaksanaannya tidak mempunyai sandaran dalil, padahal semua itu mem butuhkan dalil.
IV. Hukum bid’ah dalam agama
A. Hukum Bid'ah dalam Agama dengan segala bentuknya adalah haram
Yang dimaksud dengan bid’ah adalah segala perkara yang dibuat-buat dalam agama yang sama sekali tidak memiliki dasar dalam syariah. Dan barangsiapa yang mencoba melakukan hal ini, maka ia akan masuk dalam ancaman Rasulullah:
Rasulullah SAW besabda:
"Barangsiapa yang membuat-buat ajaran baru dalam Agama kami ini, apa yang bukan darinya, maka itu adalah tertolak." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّDalam riwayat lain
"Barangsiapa yang melaksanakan suatu amalan yang tidak didasari oleh Agama kami, maka amal tersebut tertolak." (HR Muslim).
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ "Hendaklah kalian menjauhi ajaran-ajaran Agama yang dibuat-buat, karena sesungguhnya tiap-tiap ajaran yang dibuat-buat itu adalah bid'ah dan setiap bid'ah itu adalah sesat." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Hadits-hadits ini dengan sangat jelas mengatakan bahwa semua bid'ah adalah sesat, maka artinya semua bid'ah itu haram. Hanya keharaman itu bobotnya berbeda sesuai jenis bid’ahnya.
Ada bid’ah yang bisa mengantarkan pelakunya kepada kekufuran, seperti: thawaf dikuburan untuk bertaqarub...juga mempersembahkan kurban dan nadzar untuk kuburan. Dan di antaranya termasuk sarana kemusyrikan (wasa`il syirik), seperti membangun bangunan di atas kubur, serta shalat dan berdoa di kuburan, kecuali tentu saja tata cara yang diajarkan Rasulullah.
Adapula bid’ah yang termasuk perbuatan dosa dan penyimpgan akidah, seperti bid’ah kaum Qadariyah dan murji’ah. Lalu adapula bid’ah yang ternasuk peerbuatan maksiat seperti tidak mau menikah dan lainnya.
sangat jelas pula bahwa semua bid'ah, baik yang berbentuk keyakinan atau yang berbentuk ibadah amaliyah, semuanya adalah sesat yang wajib ditinggalkan oleh semua kaum Muslimin.
B. Bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah
Barang siapa yang membagi bid’ah kepada bid’ah hasanah dan sayyi’ah maka ia telah keliru dan menyalahi sabda Nabi SAW :
“Sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat.” (HR.Ahmad)
Ada sebagian kaum muslinin yang membagi bid’ah kepada bid’ah hasanah (yang baik) dan bid’ah sayyi’ah (yang jelek).mereka berhujjah adanya bid’ah hasanah berdasarkan Pemahaman mereka yang keliru terhadap perkataan Umar bin al-Khaththab RA,
Merekapun berhujjah bahwa ada beberapa hal yang baru tapi tidak ditolak oleh ulama salaf seperti pengumpulan Al-Qur’an dalam satu kitab dan penulisan Hadits Nabi SAW.
Hujjah ini dapat dijawab dengan mengatakan bahwa sesungguhnya hal tersebut ada dasarnya dalam Islam dan bukan merupakan bid’ah.
Pertama: Umar bin al-Khaththab RA mengatakan kalimat “Ini adalah sebaik-baik bid'ah" ketika beliau mengumpulkan kaum Muslimin kala itu untuk melaksanakan Shalat Tarawih di bawah pimpinan seorang imam, dan Shalat Tarawih bukan suatu yang bid'ah, bahkan itu adalah sesuatu yang sunnah, yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW secara berjama'ah, namun beliau meninggalkannya karena khawatir akan diwajibkan atas umatnya. Maka Shalat Tarawihnya sendiri dan berjama'ahnya adalah sunnah dan sama sekali bukan suatu yang bid'ah.
Bila ini telah kita pahami, maka perkataan Umar tersebut, "Ini adalah sebaik-baik bid'ah", adalah bid'ah lughawi (bahasa) dan bukan bid'ah syar'i. Karena semua bid'ah syar'i adalah tercela, tidak ada yang baik.
Kedua: Tentang dibukukannya al-Qur`an dalam bentuk satu kitab, yang tidak pernah dilakukan di zaman Rasulullah
Pada zaman Rasulullah SAW Al-Qur`an telah ditulis dalam bentuk lembaran-lembaran. Ini berdasarkan Firman Allah SWT:
"(Yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (al-Qur`an)." (Al-Bayyinah: 2)
Hanya saja ketika itu masih tertulis pada pelepah kurma, pada lembaran-lembaran dan lempengan batu putih (yang biasa dipakai menulis kala itu).
Dibukukannya al-Qur`an dalam satu kitab adalah berdasarkan kesepakatan para sahabat Nabi SAW dan telah diketahui oleh kita semua, bahwa kesepakatan (ijma') para sahabat adalah hujjah yang sama sekali tidak mengandung keraguan.
Mereka telah bersepakat dalam urusan pengumpulkan Al-Qur’an dan menulisnya dalam bentuk mushaf-mushaf. Mereka juga telah bersepakat menyatukan manusia untuk mengunakan mushaf utsmani dan menyingkirkan mushaf dengan bentuk qira’at lainnya yang dahilu berlaku pada masa Rasulullah SAW padahal, tidak ada dalil yang jelas berupa perintah maupun larangan yang berkaitan dengan hal tersebut.
Di sini mungkin ada yang bertanya, "Jika demikian, lalu kenapa Rasulullah tidak melakukan hal itu?"
Jawabannya karena adanya penghalang untuk mengumpulkan al-Qur`an, yaitu karena Al-Qur`an terus turun sedikit demi sedikit semasa hidup Rasulullah SAW dan belum sempurna turun semuanya di mana terkadang ada ayat yang dimansukh oleh Allah dan sebagai-nya, dan ketika Al-Qur`an telah sempurna turun semuanya maka penghalang itu telah tiada ditandai dengan wafatnya Nabi SAW maka para sahabat pun melakukan pengumpulan al-Qur`an.
Ketiga: Tentang penulisan hadits
Diantara hujjah mereka adalah sabda Nabi SAW:
Sesungguhnya hadits ini merupakan pelarangan umum pada masa beliau, didasarkan kepada kekhawatiran akan bercampurnya ucapan beliau dengan Al-Qur’an. Maka setelah Rasulullah wafat, larangan ini dengan sendirinya terhapus. Begitu pula Nabi SAW telah memerintahkan untuk ditulisnya beberapa hadits untuk diberikan kepada sebagian sahabat yang memintanya dari beliau. Jadi, penulisan hadits bukanlah sesuatu yang bid’ah karena telah ada dasarnya pada zaman Rasulullah SAW.
Referensi
Fathullah Basyaruddin bin Nurdin, Wasim, Al-Bida’ wa Atsaruha Say’u fil Ummah, (Terj.) Arif Abdurrahman, Solo: At-Tibyan, 2007
As-Saqqaf, Alawi bin Abdul Qadir, Mukhtashar Kitab al-I’tisham, (Terj.) Arif Syarifuddin, Lc, Yogyakarta: Media Hidayah, 2003
Taimiyah, Ibnu, Al-I’tisham bil Kitab was Sunnah
Al-Fauzan, Shalih bin Fauzan bin Abdullah, At-Tauhid Lish Shaffits Tsalits al-‘Ali, (Terj.) Ainul Haris, Lc, Jakarta: Darul Haq, 2007
Al-Qaththan, Manna’, Mabahits Fi Ulum al-Hadits, (Terj.) Mifdhol Abdurrahman,Lc, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008
Ahmad Hartono Jaiz dkk, Khutbah Jum’at Pilihan Setahun, Jakarta:Darul Haq, Cet, 10
Hadits-hadits ini dengan sangat jelas mengatakan bahwa semua bid'ah adalah sesat, maka artinya semua bid'ah itu haram. Hanya keharaman itu bobotnya berbeda sesuai jenis bid’ahnya.
Ada bid’ah yang bisa mengantarkan pelakunya kepada kekufuran, seperti: thawaf dikuburan untuk bertaqarub...juga mempersembahkan kurban dan nadzar untuk kuburan. Dan di antaranya termasuk sarana kemusyrikan (wasa`il syirik), seperti membangun bangunan di atas kubur, serta shalat dan berdoa di kuburan, kecuali tentu saja tata cara yang diajarkan Rasulullah.
Adapula bid’ah yang termasuk perbuatan dosa dan penyimpgan akidah, seperti bid’ah kaum Qadariyah dan murji’ah. Lalu adapula bid’ah yang ternasuk peerbuatan maksiat seperti tidak mau menikah dan lainnya.
sangat jelas pula bahwa semua bid'ah, baik yang berbentuk keyakinan atau yang berbentuk ibadah amaliyah, semuanya adalah sesat yang wajib ditinggalkan oleh semua kaum Muslimin.
B. Bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah
Barang siapa yang membagi bid’ah kepada bid’ah hasanah dan sayyi’ah maka ia telah keliru dan menyalahi sabda Nabi SAW :
“Sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat.” (HR.Ahmad)
Ada sebagian kaum muslinin yang membagi bid’ah kepada bid’ah hasanah (yang baik) dan bid’ah sayyi’ah (yang jelek).mereka berhujjah adanya bid’ah hasanah berdasarkan Pemahaman mereka yang keliru terhadap perkataan Umar bin al-Khaththab RA,
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هٰذِه.ِ
"Ini adalah sebaik-baik bid'ah." (HR. Bukhari)Merekapun berhujjah bahwa ada beberapa hal yang baru tapi tidak ditolak oleh ulama salaf seperti pengumpulan Al-Qur’an dalam satu kitab dan penulisan Hadits Nabi SAW.
Hujjah ini dapat dijawab dengan mengatakan bahwa sesungguhnya hal tersebut ada dasarnya dalam Islam dan bukan merupakan bid’ah.
Pertama: Umar bin al-Khaththab RA mengatakan kalimat “Ini adalah sebaik-baik bid'ah" ketika beliau mengumpulkan kaum Muslimin kala itu untuk melaksanakan Shalat Tarawih di bawah pimpinan seorang imam, dan Shalat Tarawih bukan suatu yang bid'ah, bahkan itu adalah sesuatu yang sunnah, yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW secara berjama'ah, namun beliau meninggalkannya karena khawatir akan diwajibkan atas umatnya. Maka Shalat Tarawihnya sendiri dan berjama'ahnya adalah sunnah dan sama sekali bukan suatu yang bid'ah.
Bila ini telah kita pahami, maka perkataan Umar tersebut, "Ini adalah sebaik-baik bid'ah", adalah bid'ah lughawi (bahasa) dan bukan bid'ah syar'i. Karena semua bid'ah syar'i adalah tercela, tidak ada yang baik.
Kedua: Tentang dibukukannya al-Qur`an dalam bentuk satu kitab, yang tidak pernah dilakukan di zaman Rasulullah
Pada zaman Rasulullah SAW Al-Qur`an telah ditulis dalam bentuk lembaran-lembaran. Ini berdasarkan Firman Allah SWT:
"(Yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (al-Qur`an)." (Al-Bayyinah: 2)
Hanya saja ketika itu masih tertulis pada pelepah kurma, pada lembaran-lembaran dan lempengan batu putih (yang biasa dipakai menulis kala itu).
Dibukukannya al-Qur`an dalam satu kitab adalah berdasarkan kesepakatan para sahabat Nabi SAW dan telah diketahui oleh kita semua, bahwa kesepakatan (ijma') para sahabat adalah hujjah yang sama sekali tidak mengandung keraguan.
Mereka telah bersepakat dalam urusan pengumpulkan Al-Qur’an dan menulisnya dalam bentuk mushaf-mushaf. Mereka juga telah bersepakat menyatukan manusia untuk mengunakan mushaf utsmani dan menyingkirkan mushaf dengan bentuk qira’at lainnya yang dahilu berlaku pada masa Rasulullah SAW padahal, tidak ada dalil yang jelas berupa perintah maupun larangan yang berkaitan dengan hal tersebut.
Di sini mungkin ada yang bertanya, "Jika demikian, lalu kenapa Rasulullah tidak melakukan hal itu?"
Jawabannya karena adanya penghalang untuk mengumpulkan al-Qur`an, yaitu karena Al-Qur`an terus turun sedikit demi sedikit semasa hidup Rasulullah SAW dan belum sempurna turun semuanya di mana terkadang ada ayat yang dimansukh oleh Allah dan sebagai-nya, dan ketika Al-Qur`an telah sempurna turun semuanya maka penghalang itu telah tiada ditandai dengan wafatnya Nabi SAW maka para sahabat pun melakukan pengumpulan al-Qur`an.
Ketiga: Tentang penulisan hadits
Diantara hujjah mereka adalah sabda Nabi SAW:
لَا تَكْتُبُوْا عَنِّيْ، وَمَنْ كَتَبَ عَنِّيْ غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ
Artinya: "Janganlah kalian menulis (segala sesuatu) dariku, dan barangsiapa yang menulis dariku selain al-Qur`an, maka hendaklah dia menhapusnya." (Diriwayatkan oleh Muslim no. 3004).Sesungguhnya hadits ini merupakan pelarangan umum pada masa beliau, didasarkan kepada kekhawatiran akan bercampurnya ucapan beliau dengan Al-Qur’an. Maka setelah Rasulullah wafat, larangan ini dengan sendirinya terhapus. Begitu pula Nabi SAW telah memerintahkan untuk ditulisnya beberapa hadits untuk diberikan kepada sebagian sahabat yang memintanya dari beliau. Jadi, penulisan hadits bukanlah sesuatu yang bid’ah karena telah ada dasarnya pada zaman Rasulullah SAW.
Referensi
Fathullah Basyaruddin bin Nurdin, Wasim, Al-Bida’ wa Atsaruha Say’u fil Ummah, (Terj.) Arif Abdurrahman, Solo: At-Tibyan, 2007
As-Saqqaf, Alawi bin Abdul Qadir, Mukhtashar Kitab al-I’tisham, (Terj.) Arif Syarifuddin, Lc, Yogyakarta: Media Hidayah, 2003
Taimiyah, Ibnu, Al-I’tisham bil Kitab was Sunnah
Al-Fauzan, Shalih bin Fauzan bin Abdullah, At-Tauhid Lish Shaffits Tsalits al-‘Ali, (Terj.) Ainul Haris, Lc, Jakarta: Darul Haq, 2007
Al-Qaththan, Manna’, Mabahits Fi Ulum al-Hadits, (Terj.) Mifdhol Abdurrahman,Lc, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008
Ahmad Hartono Jaiz dkk, Khutbah Jum’at Pilihan Setahun, Jakarta:Darul Haq, Cet, 10
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar