Blogger Template by Blogcrowds

BID’AH DALAM PERSPEKTIF ISLAM

I. Mukadimah
Alhamdulillah segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam hanya kepada-Nya-lah kita memohon perlindungan, dan hanya kepada-Nya-lah kita memohon ampun dari segala keburukan diri kita, maupun kejelekan amal-amal kita. Barang siapa yang diberi hidayah, maka tidak akan ada yang mampu menyesatkannya. Sebaliknya, barang siapa yang telah Allah sesatkan, maka tidak ada yang mampu memberikan hidayah kepadanya. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW. Karena usaha beliaulah, kita pada hari ini dapat menikmati indahnya keidupan yang berdasarkan Islam. Tetapi kenyataannya, banyak sekali dari orang-orang yang mengaku beragama Islam, belum mengatahui atau tidak mau mempelajari hakikat agama yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, sehingga mereka menganggap agama ini terasa belum sempurna, dan perlu diadakan penambahan, baik dari segi mu’amalah maupun dari segi aqidah. Padahal Allah SWT telah berfirman,
          
Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. (Al-Maidah: 3)
Dari firman Allah di atas, kita dapat menyimpulkan, bahwasanya Islam adalah agama yang telah disempurnakan, dan tidak perlu lagi penambahan-penambahan. Rasulullah SAW bersabda,
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ يَقُولُ مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ

II. Pengertian bid’ah
Dilihat dari segi bahasa, kata bid’ah berasal dari kata ”بدع-يبدع” yang artinya dimulai. Lebih lanjut disebutkan, البدع الشيء الذي يكون أوّلاً, berarti sesuatu itu bid'ah yakni yang terjadi kali pertama. Sebagaimana firman Allah SWT,
     
Katakanlah: "Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-rasul.....” (Al-Ahqaf: 9)
Maksudnya: Aku bukanlah Rasul yang pertama kali membawa risalah dari Allah kepada para hamba-Nya, tetapi sudah banyak rasul-rasul yang mendahuluiku.
  
“Allah Pencipta langit dan bumi” (Al-Baqarah: 117)
Maksudnya: Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi tanpa contoh sebelumnya.
Perkataan “ابتدع فلان بدعة” memiliki arti “Dia telah merintis suatu cara yang belum pernah ada yang mendahuluinya. Begitu juga perkataah “هذا أمر بديع” memiliki arti sesuatu yang dianggap baik yang kebaikannya belum pernah ada yang menyerupaisebelumnya.
Dari makna bahasa seperti itulah pengertian bid’ah diambil oleh para ulama. Jadi, membuat cara-cara baru dengan tujuan agar orang lain mengikutinya disebut bid’ah. Suatu pekerjaan yang belum pernah dikerjakan sebelumnya oleh oran lain juga disebut bid’ah.
Sedangkan definisi bid’ah ditinjau dari segi istilah, para ulama telah banyak mendefinisikannya, diantaranya adalah:
1. Imam asy-Syatibi mendefinisikan bid’ah dengan mengatakan, “Bid’ah adalah suatu jalan yang ditempuh dalam mengamalkan din, yang merupakan suatu hal baru yang menyerupai syari’at, serta diniatkan dalam rangka beribadah kepada Allah.
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Segala sesuatu yang belum pernah disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya, atau segala sesuatu yang tidak ada suruhan sebelumnya, baik bersifat wajib, maupun sunnah.
3. Alawi bin Abdul Qadir as-Saqqaf berkata ketika beliau meringkas buku al-I’tisham karya Imam asy-Syatibi, “Bid’ah adalah suatu cara baru dalam agama, yang menandingi syari’at, dimana tujuan dibuatnya sama seperti tujuan dibuatnya syari’at tersebut. Makna kata ‘cara’ pada definisi di atas ialah sesuatu yang telah ditetapkan untuk dijalani, yang pelakunya menyandarkan hal tersebut kepada agama. Makna kata ‘menandingi syari’at’ dalam definisi di atas maksudnya adalah menyerupai cara (yang ada dalam) syari’at, tetapi sebenarnya tidak termasuk syari’at, bahkan bertentangan dengan syari’at. Adapun kata ‘di mana tujuan dibuatnya adalah untuk membuat nilai lebih dalam beribadah kepada Allah’ dalam definisi di atas, maka itulah esensi dari perbuatan bid’ah. Itulah maksud dan tujuan dibuatnya yang menyebabkan perbuatan tersebut terlarang.

III. Macam-macam bid’ah
Kita sudah mengetahui, bahwasanya bid’ah adalah suatu tindakan yang tercela, karena mengkhususkan suatu tata cara dalam agama yang tidak ada sumber sandaran dari Pembuat syari’at, bahkan keluar dari apa yang digariskan oleh-Nya. Bid’ah dalam agama mempunyai beberapa bentuk, tergantung dari sisi mana kita melihatnya.

A. Bid’ah ditinjau dari segi bentuknya
1. Bid’ah Qaliyah I’tiqadiyah (bid’ah pandangan dalam keyakinan), seperti perkataan kelompok Jahmiyah, Mu’tazilah serta seluruh kelompok sesat lainnya dan keyakinan mereka.
2. Bid’ah dalam ibadah, seperti ibadah kepada Allah dengan bentuk ibadah yang tidak diajarkan. Bid’ah ini terbagi mejadi empat bagian:
Pertama, bid’ah yang terjadi pada asal-usul ibadah. Misalnya membuat shalat yang tidak ada asal-usulnya di dalam syari’at.
Kedua, bid’ah berupa penambahan terhadap ibadah yang memang disyari’atkan. Seperti melafazkan niat ketika hendak mengerjakan shalat.
Ketiga, bid’a yang terjadi pada cara pelaksanaan ibadah yang disyari’atkan, misalnya membaca zikir bersama-sama, dan dengan berlagu.
Keempat, bid’ah berupa pengkhususan waktu tertentu untuk melaksanakan ibadah yang disyari’atkan, sementara Islam tidak mengkhususkan waktu tersebut. Seperti mengkhususkan membaca surat Yasin dimalam di malam jum’at.

B. Bid’ah ditinjau dari segi akibatnya
1. Bid’ah mukaffirah
Bid’ah mukaffirah adalah bid’ah yang dapat menjerumuskan pelakunya pada kekafiran. Seperti orang-orang syi’ah, karena mereka mengingkari atau mendustakan hal-hal yang sudah mutawatir dan wajib diketahui dalam agama.
     
“…..dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka.” (Al-Ahqaf: 3)
2. Bid’ah mufassiqah
Bid’ah mufassiqah hanya menjadikan pelakunya sebagai orang fasik. Bid’ah ini jika dikerjakan tidak membuat pelakunya menjadi kafir. Seperti menambah-nambah dalam hal beribadah, yang mana telah ditetapkan secara tauqifi.

C. Ditinjau dari segi ada atau tidak adanya sandaran dari dalil syar’i
1. Bid’ah hakikiyyah
Bid’ah hakikiyah adalah bid’ah yang tidak mempunyai sandaran dalil sama sekali, baik al-Qur’an, sunnah, ijma’, maupun bimbingan para ulama yang layak diterima, secara global maupun terperinci.
2. Bid’ah idhafiyyah
Bid’ah idhafiyyah mempunyai dalil, tetapi dari sisi tata caranya, hal-ihwalnya, atau rincian-rincian pelaksanaannya tidak mempunyai sandaran dalil, padahal semua itu mem butuhkan dalil.

IV. Hukum bid’ah dalam agama
A. Hukum Bid'ah dalam Agama dengan segala bentuknya adalah haram
Yang dimaksud dengan bid’ah adalah segala perkara yang dibuat-buat dalam agama yang sama sekali tidak memiliki dasar dalam syariah. Dan barangsiapa yang mencoba melakukan hal ini, maka ia akan masuk dalam ancaman Rasulullah:
Rasulullah SAW besabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هٰذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Barangsiapa yang membuat-buat ajaran baru dalam Agama kami ini, apa yang bukan darinya, maka itu adalah tertolak." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Barangsiapa yang melaksanakan suatu amalan yang tidak didasari oleh Agama kami, maka amal tersebut tertolak." (HR Muslim).

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
"Hendaklah kalian menjauhi ajaran-ajaran Agama yang dibuat-buat, karena sesungguhnya tiap-tiap ajaran yang dibuat-buat itu adalah bid'ah dan setiap bid'ah itu adalah sesat." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Hadits-hadits ini dengan sangat jelas mengatakan bahwa semua bid'ah adalah sesat, maka artinya semua bid'ah itu haram. Hanya keharaman itu bobotnya berbeda sesuai jenis bid’ahnya.
Ada bid’ah yang bisa mengantarkan pelakunya kepada kekufuran, seperti: thawaf dikuburan untuk bertaqarub...juga mempersembahkan kurban dan nadzar untuk kuburan. Dan di antaranya termasuk sarana kemusyrikan (wasa`il syirik), seperti membangun bangunan di atas kubur, serta shalat dan berdoa di kuburan, kecuali tentu saja tata cara yang diajarkan Rasulullah.
Adapula bid’ah yang termasuk perbuatan dosa dan penyimpgan akidah, seperti bid’ah kaum Qadariyah dan murji’ah. Lalu adapula bid’ah yang ternasuk peerbuatan maksiat seperti tidak mau menikah dan lainnya.
sangat jelas pula bahwa semua bid'ah, baik yang berbentuk keyakinan atau yang berbentuk ibadah amaliyah, semuanya adalah sesat yang wajib ditinggalkan oleh semua kaum Muslimin.

B. Bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah
Barang siapa yang membagi bid’ah kepada bid’ah hasanah dan sayyi’ah maka ia telah keliru dan menyalahi sabda Nabi SAW :
“Sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat.” (HR.Ahmad)
Ada sebagian kaum muslinin yang membagi bid’ah kepada bid’ah hasanah (yang baik) dan bid’ah sayyi’ah (yang jelek).mereka berhujjah adanya bid’ah hasanah berdasarkan Pemahaman mereka yang keliru terhadap perkataan Umar bin al-Khaththab RA,
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هٰذِه.ِ
"Ini adalah sebaik-baik bid'ah." (HR. Bukhari)
Merekapun berhujjah bahwa ada beberapa hal yang baru tapi tidak ditolak oleh ulama salaf seperti pengumpulan Al-Qur’an dalam satu kitab dan penulisan Hadits Nabi SAW.
Hujjah ini dapat dijawab dengan mengatakan bahwa sesungguhnya hal tersebut ada dasarnya dalam Islam dan bukan merupakan bid’ah.
Pertama: Umar bin al-Khaththab RA mengatakan kalimat “Ini adalah sebaik-baik bid'ah" ketika beliau mengumpulkan kaum Muslimin kala itu untuk melaksanakan Shalat Tarawih di bawah pimpinan seorang imam, dan Shalat Tarawih bukan suatu yang bid'ah, bahkan itu adalah sesuatu yang sunnah, yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW secara berjama'ah, namun beliau meninggalkannya karena khawatir akan diwajibkan atas umatnya. Maka Shalat Tarawihnya sendiri dan berjama'ahnya adalah sunnah dan sama sekali bukan suatu yang bid'ah.
Bila ini telah kita pahami, maka perkataan Umar tersebut, "Ini adalah sebaik-baik bid'ah", adalah bid'ah lughawi (bahasa) dan bukan bid'ah syar'i. Karena semua bid'ah syar'i adalah tercela, tidak ada yang baik.
Kedua: Tentang dibukukannya al-Qur`an dalam bentuk satu kitab, yang tidak pernah dilakukan di zaman Rasulullah
Pada zaman Rasulullah SAW Al-Qur`an telah ditulis dalam bentuk lembaran-lembaran. Ini berdasarkan Firman Allah SWT:
      
"(Yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (al-Qur`an)." (Al-Bayyinah: 2)
Hanya saja ketika itu masih tertulis pada pelepah kurma, pada lembaran-lembaran dan lempengan batu putih (yang biasa dipakai menulis kala itu).
Dibukukannya al-Qur`an dalam satu kitab adalah berdasarkan kesepakatan para sahabat Nabi SAW dan telah diketahui oleh kita semua, bahwa kesepakatan (ijma') para sahabat adalah hujjah yang sama sekali tidak mengandung keraguan.
Mereka telah bersepakat dalam urusan pengumpulkan Al-Qur’an dan menulisnya dalam bentuk mushaf-mushaf. Mereka juga telah bersepakat menyatukan manusia untuk mengunakan mushaf utsmani dan menyingkirkan mushaf dengan bentuk qira’at lainnya yang dahilu berlaku pada masa Rasulullah SAW padahal, tidak ada dalil yang jelas berupa perintah maupun larangan yang berkaitan dengan hal tersebut.
Di sini mungkin ada yang bertanya, "Jika demikian, lalu kenapa Rasulullah tidak melakukan hal itu?"
Jawabannya karena adanya penghalang untuk mengumpulkan al-Qur`an, yaitu karena Al-Qur`an terus turun sedikit demi sedikit semasa hidup Rasulullah SAW dan belum sempurna turun semuanya di mana terkadang ada ayat yang dimansukh oleh Allah dan sebagai-nya, dan ketika Al-Qur`an telah sempurna turun semuanya maka penghalang itu telah tiada ditandai dengan wafatnya Nabi SAW maka para sahabat pun melakukan pengumpulan al-Qur`an.
Ketiga: Tentang penulisan hadits
Diantara hujjah mereka adalah sabda Nabi SAW:
لَا تَكْتُبُوْا عَنِّيْ، وَمَنْ كَتَبَ عَنِّيْ غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ
Artinya: "Janganlah kalian menulis (segala sesuatu) dariku, dan barangsiapa yang menulis dariku selain al-Qur`an, maka hendaklah dia menhapusnya." (Diriwayatkan oleh Muslim no. 3004).
Sesungguhnya hadits ini merupakan pelarangan umum pada masa beliau, didasarkan kepada kekhawatiran akan bercampurnya ucapan beliau dengan Al-Qur’an. Maka setelah Rasulullah wafat, larangan ini dengan sendirinya terhapus. Begitu pula Nabi SAW telah memerintahkan untuk ditulisnya beberapa hadits untuk diberikan kepada sebagian sahabat yang memintanya dari beliau. Jadi, penulisan hadits bukanlah sesuatu yang bid’ah karena telah ada dasarnya pada zaman Rasulullah SAW.

Referensi

Fathullah Basyaruddin bin Nurdin, Wasim, Al-Bida’ wa Atsaruha Say’u fil Ummah, (Terj.) Arif Abdurrahman, Solo: At-Tibyan, 2007

As-Saqqaf, Alawi bin Abdul Qadir, Mukhtashar Kitab al-I’tisham, (Terj.) Arif Syarifuddin, Lc, Yogyakarta: Media Hidayah, 2003

Taimiyah, Ibnu, Al-I’tisham bil Kitab was Sunnah

Al-Fauzan, Shalih bin Fauzan bin Abdullah, At-Tauhid Lish Shaffits Tsalits al-‘Ali, (Terj.) Ainul Haris, Lc, Jakarta: Darul Haq, 2007

Al-Qaththan, Manna’, Mabahits Fi Ulum al-Hadits, (Terj.) Mifdhol Abdurrahman,Lc, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008

Ahmad Hartono Jaiz dkk, Khutbah Jum’at Pilihan Setahun, Jakarta:Darul Haq, Cet, 10



Ahmadiyah, sesat, menyesatkan...!!!

I. Mukadimah

Seperti tak ada habis-habisnya, aliran sesat terus bermunculan di Tanah Air. Dari yang sudah jelas-jelas difatwa sesat MUI dan diserbu massa umat Islam karena tak kunjung mau membubarkan diri, hingga yang malu-malu menyatakan identitasnya. Aliran sesat muncul di berbagai daerah dengan fenomena yang berbeda. Seperti dikatakan salah seorang Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin, berdasarkan temuan MUI, aliran sesat ini tumbuh hampir di seluruh wilayah Indonesia. Mereka mengindentifikasikan sebagai kelompok Muslim atau Islam. Tetapi ajaran-ajaran yang mereka lakukan bertentangan dengan syari’at Islam.

Masalah Ahmadiyah bukan hal baru. Status jamaah yang mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW ini telah jelas sejak 1980. Pada Musyawarah ke-2 Majelis Ulama Indonesia memutuskan, Ahmadiyah di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Keputusan itu ditandatangani bersama oleh Ketua MUI Buya Hamka dan Sekum MUI Drs Kafrawi MA serta Menteri Agama RI Alamsyah Ratu Prawiranegara pada tanggal 17 Rajab 1400 H atau 1 Juni 1980.

Problematika yang timbul dari keberadaan penganut ajaran Ahmadiyan di tengah kaum Muslimin tetap saja akan mencuat. Seiring dengan agresitivitas golongan ini dalam menyebarlauskan pemahaman-pemahaman si nabi palsu, antek penjajah Inggris. Sebagaian golongan menyakini kalau Ahmadiyah hanya sekedar firqoh dalam Islam. Sebuah golongan yang mempunyai furu’ yang berbeda dari golongan lain. Tak ada titik perbedaan selain ini.

Pendapat itu dipatahkan oleh Syekh Ihsan Ilahi Zhahir. Dalam keterangan beliau, seorang Muslim hendaknya tahu betapa besar kesalahan asumsi di atas. Pasalnya, golongan yang juga dikenal dengan al-Qadhiyani ini tidak mempunyai hubungan apapun dengan Islam. Hanya saja mereka mengenakan baju Islam untuk mengecoh kaum Muslimin.

II. Teori Pembahasan

2.1 Mendudukkan arti sesat

Sesat secara etimologi berarti tidak memlalui jalan yang yang benar, atau salah jalan.[1] Sesat atau kesesatan menurut istilah filsafat memiliki beberapa pengertian:

  1. Mengatakan bahwa suatu gagasan (keyakinan, proposisi, pendapat) adalah sesat berarti fakta yang diacu oleh gagasan itu tdak ada (tidak ada dalam kenyataan.
  2. Tidak sesuai dengan realitas atau kebanaran.
  3. Tidak mempunyai evdensi (fakta) pendukung yang baik.
  4. Salah.
  5. Bagian dari dua perangkat nilai kebenaran yang meyangkal nilai kebenaran yang ditentukan bagi suatu penyataan. Berbeda dengan entri-entri di bawah “betul”.
  6. Lawan dari kebenaran.[2]

Kesesatan menurut ilmu filsafat terbagi tiga:

  1. Kesesatan Logis

Kesesatan logis ada, bila suatu putusan tidak menyajikan secara tepat materi yang diberikan. Ciri kesesatan logis adalah bahwa suatu diafirmasikan yagn semestinya disangkal, atau bahwa sesuatu disangkal yagn seharusnya diafirmasikan.

  1. Kesesatan Ontologis

Kesesatan ontologs terjadi kerena kita beangkat dari ide tentang suatu hal, bukan hal itu sendiri.

  1. Kesesatan Etis

Kesesatan etis terjadi karena seorang pribadi dengan sengaja bertingkah laku atau berbicara lain dari pada apa yang dia pikirkan.[3]

2.2 Sesat menurut al-Qur’an dan Sunnah

Sesat dalam bahas arab yaitu ضلّ yang juga berarti menyimpang dari kebenaran, gagal, tidak berhasil.[4] Sedangkan orang yang ssesat adalah ضالّ. Istilah ini terdapat pada QS. Al-Fatihah: 7, QS. ‘Ali Imran: 90, QS. Al-An’am: 77, QS. Al-Hijr: 56, QS. Al-Mu’minun: 106, dan lain-lain.

Sayyid Quthb berkata dalam didalm tafsirnya Fi Zhilalil Qur’an, dalam menafsirkan ayat ke-7 dari surat al-Fatihah,

xÞºuŽÅÀ tûïÏ%©!$# |MôJyè÷Rr& öNÎgøn=tã ÎŽöxî ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgøn=tæ Ÿwur tûüÏj9!$žÒ9$#

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (Al-Fatihah:7)

“Ia adalah jalan orag-orang yang telah mendapatkan pembagian nikmatnya, bukan jalan orang-orang yang dimurkai-Nya karena mengtahui kebenaran tetapi kemudian menyimpang darinya, atau orang-oang yang sesat dari kebenaran sehingga mereka tidak medapatkan petunjuk sama sekali kepadanya.”[5]

PROF. DR. Hamka, didalam buku tafsirnya al-Azhar menjelaskan tentang ayat ketujuh dari surat al-Fatihah ini, “….dan bukan jalan mereka yang sesat”, orang yang sesat adalah orang yang berani membuat jalan sendiri di luar yang digariskan Tuhan. Tidak mengenal kebenaran, atau tidak dikenalnya menurut maksudnya yang sebenarnya.[6]

Shal ibn ‘Abdillah berkata, bahwasanya yang dimaksud dengan sesat adalah orang-orang yang tidak mengetahui akan Sunnah. Menurut Sayyid Rasyid Ridha di dalam tafsirnya al-Manar, bahwasanya yang dimaksud dengan kata dlalliin dalam surat al-Fatihah ayat ke-7 adlah orang-orang Nashrani, karena Allah telah menghukumi mereka dengan kesesatan,

ö@è% Ÿ@÷dr'¯»tƒ É=»tGÅ6ø9$# Ÿw (#qè=øós? Îû öNà6ÏZƒÏŠ uŽöxî ÈdYysø9$# Ÿwur (#þqãèÎ6®Ks? uä!#uq÷dr& 7Qöqs% ôs% (#q=|Ê `ÏB ã@ö6s% (#q=|Êr&ur #ZŽÏVŸ2 (#q=|Êur `tã Ïä!#uqy È@Î6¡¡9$#

Katakanlah: "Hai ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus". (Al-Maidah: 77)[7]

Rasulullah SAW pernah ditanya oleh salah seorang sahabat, yaitu ‘Adi ibn Hatim, dia berkata tentang tentang firman Allah (ÅóOÎgøn=tæÎUqàÒøóyJø9$#Žöxî) maka Nabi menjawab, “mereka adalah orang-orang Yahud”, dan (tûüÏj9!$žÒ9$# $wur ) “mereka adalah orang-orang Nashrani.”

Sayyid Rasyid Ridha dalam al-Manarnya juga menguraikan penafsiran gurunya Syeikh Muhammad ‘Abduh, tentang orang yang tersesat, terbagi atas empat tingkata:

Pertama, yang tidak sampai kepadanya dakwah, atau ada sampai tetapi hanya didapat pancaindra dan akal, tidak ada tuntunan agama. Meskipun didalam soal-soal keduaniaan mungkin mereka tidak sesat., namun meraka pasti sesat dalam mencari kelepasan jiwa dan kebahagiaannya di akhirat. Siapa yang tidak menikmati agama, tidaklah dia akan merasai nikmat dari kedua kehidupan itu. Yang demikian itu adlah Sunnatullah dalam alam ini, yang tidak didapat jalan lain untuk mengelakkannya. Adapun nasib mereka di akhirat kelak, nyatalah bahwa kedudukan meraka tidak sama dengan orang yang beroleh hidayah dan petunjuk. Mungkin juga diberi maaf oleh tuhan, karena dia berbuat sekehendaknya.

Kedua, sampai kepada merka dakwah, atas jalan yang dapat membangun minat pikiran, mereka pun telah tertarik oleh dakwah itu,tetapi belum menjadi keimanannya, dia pun mati.

Ketiga, dakwah sampai kepada mereka dan mereka akui, tetapi tidak merka pergunakan akal untuk berpikir dan berpikir dari pokoknya, tetapi mareka berpegang teguh juga kepada hawa nafsu dan kebiasaan lama, atau menambah-nambah.

2.3 Sesat menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Sepuluh kriteria aliran sesat versi MUI:

1. Mengingkari salah satu rukun iman dan rukun Islam

2. Meyakini atau mengkuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’I (al-Qur’an dan Sunnah).

3. Meyakini turunnya wahyu sesudah al-Qur’an.

4. Mengingkari autentisitas dan kebenaran al-Qur’an

5. Menafsirkan al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir.

6. Mengingkari kedudukan hadits Nabi sebagai sumber ajaran Islam.

7. menghina, melecehkan, dan/atau merendahkan nabi dan rasul.

8. Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebgai nabi dan rasul terakhir.

9. Mengubah, menambah, dan mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan.

10. Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i.[8]

III. Latar belakang kemunculan dan perkembangan Ahmadiyah

3.1 Latarbelakang historis munculnya Ahmadiyah

Pada abad sembilan belas merupakan sebuah periode yang sangat penting dalam sejarah modern. Suatu abad dimana kegelisahan intelektual dan berbagai macam konflik dan tensi di Dunia Islam telah memuncak. India adalah salah satu pusat dari konflik dan tensi ini. Di belahan dunia ini, konflik dan tensi antara peradaban Barat dan Timur, sistem pendidikan tradisional dan modern, bahkan antara pandangan hidup dunia lama dan baru serta antara Islam dan Kristen telah mencapai puncaknya. Kekuatan-kekuatan yang bersatu ini terlibat dalam konflik hidup atau mati. Berbagai pergerakan mulai muncul ketika perjuangan untuk kemerdekaan negara pada 1857 ditindas. Insiden ini membuat shock umat Muslimin, jiwa mereka terluka, dan pikiran mereka lumpuh. Mereka dihadapkan pada ancaman perbudakan ganda, baik secara politik ataupun kultural. Pada satu sisi Inggris dengan giat melancarkan sebuah kampanye untuk menyebarakan peradaban dan kultur baru di India, sementara pada sisi yang lain, para misionaris Kristen telah bergerak ke seluruh pelosok India untuk menyebarkan kristenisasi. Namun ancaman yang paling serius pada masa itu bukanlah masalah pemurtadan, tetapi skeptisme dan atheisme. Debat keagamaan antara ulama Islam dan misionaris sering berlangsung dan secara umum dimenangkan oleh para ulama Islam sehingga menimbulkan superrioritas imtelektual dan vitalitas yang lebih besar dibanding Kristen. Meskipun demikian kegelisahan intelektual, skeptisme, da lemahnya iman tumbuh dengan cepat.[9]

Inilah salah satu aspek kondisi saat itu, sebuah kondisi di bawah ancaman eksternal. Tetapi kalau dilihat secara internal, kondisinya bahkan lebih buruk. Perpecahan diantara sekte Islam mencapai pada proporsi yang memprihatinkan. Setiap sekte menghujat sekte yang lain. Polemik antar sekte merupakan gejala umum pada saat itu sehingga memicu meletusnya kerusuhan bahkan pertumpahan darah serta penerapan proses pengadilan terhadap isu-isu sektarianisme yang kontroversial.[10]

Pada sisi lain, kaum sufi yang masih belum matang dalam tarikatnya dan orang-orang bodoh yang mengaku memiliki kelebihan spritual telah memperburuk citra aliran sufi dan menjadikannya sebagai barang mainan. Meraka dengan leluasa menyebarkan manetra-manetra dan ungkapan-ungkapan tahayul. Dimana-mana kita bisa menemukan orang-orang mengklaim memiliki kelebihan yang luar biasa dan kemampuan menunjukkan mukjizat yang mengagumkan serta mengaku menerima suatu risalah dari Tuhan. Kecintaan terhadap hal-hal esotrik sudah begitu berkembang sehingga mereka siap menerima setiap fantasi baru, mendukung setiap pergerakan baru, dan mempercayai semua klaim esoterik meskipun tidak berdasar dan imajiner.[11]

Propinsi Punjab pada khususnya merupakan pusat kegelisahan dan kebingungan mental, tahayul, dan ebodohan agama. Punjab telah menderita selama delapan puluh tahun di bawah kekuasaan Sikh Raj, seorang militer tiran yang keja. Selama masa kekuasaannya, keyakinan dan ketaatan umat Muslim akan ajaran agama mereka telah sangat melemah. Pendidikan Islam yang hampir tidak ada dalam kurun waktu yang lama. Fondasi kehidupan Islami dan Masyarakat Muslim telah goyah. Pikiran mereka benar-benar berada dalam kondisi bingung dan lemah tak berdaya. Kodisi ini telah membuka jalan bagi munculnya sebuah gerakan keagamaan di Punjab yang berlandaskan pada interpretasi baru dan doktrin-doktrin esoterik.[12]

Menjelang akhir abad sembilan belas inilah Mirza Ghulam Ahmad muncul dengan membawa risalah dn gerakan yang unik. Untuk menyebarkan misi serta memenuhi ambisinya, Mirza Ghulam Ahmad telah menemukan lahan yang subur dan waktu yang tepat. Ada beberapa faktor yang menguntungkan gerakan keagamaan yaitu, kegelisahan yang terjadi secara umum dalam pikiran masyarakat, kecintaan masyarakat terhadap hal-hal mistik, keputusan terhad efektipitas sarana-sarana reformasi dan revolusi yang moderat dan normal, menurunnya prestise ulama dan keyakinan masyarakat terhadap mereka, meluasnya debat-debat keagamaan yang telah merubah rasa ingin tahu dan kecendrungan masyarakat terhadap ajaran agama, sehingga dalam jumlah besar menyebabkan mereka tumbuh menjadi pemikir bebas.[13]

Pada permulaan masa mudanya, Mirza Ghulam Ahmad diminta keluarganya untuk pergi menerima honorarium ketekunannya dari gaji pensiunnya, yang diberikan oleh Inggris kepadanya sebagai imbalan pengabdiannya kepada mereka. Kemudian ia pergi dengan ditemani oleh seorang temannya yang bernama Imaduddin. Setelah menerima uang itu, maka ia didorong oleh temannya untuk pergi keluar Qadhiyan guna menghabiskan saat-saat yang menyenangkan. Lalu menyerah kepadanyalah Ghulam Ahmad, dan begitu cepat mereka menghambur-hamburkan gaji itu. Ketika habis harta merka itu maka menghilanglah temannya, Imaduddin. Ghulam terpaksa lari dari pandangan keluarganya menuju ke kota Sailkot, sebuah kota yang kini terletak di Pakistan Barat, daerah Punjab. Itu terjadi pada tahun 1864 M.[14]

Di tengah-tengah ia tinggal di Sailkot itu telah dibuka sebuah sekolah malam untuk pengajaran Bahasa Inggris, lalu Ghulam mengikutinya dan di sana ia membaca satu dua buku sebagaimana ia katakana sendiri. Kemudian ia ikut ujian hukum, namun gagal. Kemudian ia meninggalkan pekerjaannya di Sailkot sesudah empat tahun dan bekerja bersama ayahnya dalam perkara-perkara pengadilan dimana ayahnya bekerja. Sejak waktu ini ia mulai memperdebatkan tentang Islam dan mengira ia akan menyusun sebuah buku besar yang dinamakan “Barahin Ahmadiyah” untuk memprotes terhadap agama Islam. Di saat itu beritanya telah tersair.[15]

Selama ia tinggal di Sailkot Ghulam Ahmad Al-Qadhiyani berhubungan dengan seorang pembesar para penyimpang bernama Al-Hakim Nuruddin Al-Buhairawi. Nuruddin ini dilahirkan tahun 1258 H bertepatan dengan tahun 1842 M di Buhairah, propinsi Syahpor yang kini dikenal dengan nama Sarkhoda di Pakistan Barat, Punjab. Di abelajar bahasa Persia, tulisan halus dan dasar bahasa Arab, lalu diangkat menjadi guru bahasa Persia di sekolah pemerintah di Rawalpindi tahun 1858 M. Kemudian ia diangkat menjadi direktur sebuah sekolah dasar dan menjabat jabatan ini selama empat tahun. Kemudian ia melepaskan jabatan ini dan tekun belajar serta pergi dari Rampor menuju Lucknow. Di sana ia mempelajari kedokteran lama kepada dokter di sana bernama Al-Hakim Ali Husain. Dia tinggal bersamanya selama dua tahun, kemudian pergi ke Hijaz tahun 1285 H, dan bertemu dengan Syekh Abdul Ghani Al-Mujaddidi di Madinah al-Munawwarah. Kemudian kembali ke negerinya dan terkenal sebagai ahli debat. Dia ditunjuk sebagai dokter khusus di wailayah Jimun, di daerah Khasmir Selatan. Kemudian dipecat dari jabatannya tahun 1892 M. Pada masa ia tinggal di Jimun itu ia mendengar Ghulam Ahmad Al-Qadhiyani, kemudian menjadi erat hubugan persahabatannya. Ketika Ghulam mulai menyusun buku “Barahin Ahmadiyah”, maka Al-Hakim menyusun buku dengan judul “Tashdiq Barahin Ahmadiyah”.[16]

Kemudian Al-Hakim mulai mendorong Ghulam untuk mengaku nabi. Disebutkan dalam buku “Siratul Mahdi” halaman 99 bahwa dia berkata pada saat itu: “Seandainya orang ini yakni Ghulam mengaku dirinya nabi yang mempunyai syari’at dan mengubah syari’at al-Qur’an, maka saya tidak akan mengingkarinya”. Setelah Ghulam pindah ke Qadhiyan, maka ia dijumpai oleh Al-Hakim ini, dan nampaknya ia menjadi pengikut Ghulam Ahmad yang peling besar. Ghulam memulai pengakuannya sebagai seorang mujaddid (pembeharu) kemudian menyatakan kepada manusia bahwa dialah Al-Mahdi yang ditunggu-tunggu itu. Dia diberi petunjuk oleh Al-Hakim agar supaya mengaku dirinya itu sebagai Al-Masih yang dijanjikan, maka Ghulam menyatakan pada tahun 1891 M bahwa ia Al-Masih yang dijanjikan itu. Dalam tulisannya ia mengatakan, “Saya diutus sebagaimana seorang Al-Masih diutus sesudah Kalimullah, tidak boleh tidak tentu ada orang yang mewarisi kekuatan yang menyamai Al-Masih, watak dan keistimewaannya. Turunnya itu tentu pada masa yang hampir sama dengan masa antara Kalimullah I dan Al-Masih bin Maryam, yakni abad ke 14 Hijriyah”. Kemudian ia mengatakan pula, “Saya mempunyai persamaan-persamaan dengan fitrah Al-Masih. Dan atas dasar persamaan yang fitri ini orang yang lemah ini diutus atas nama Al-Masih untuk merobohkan aqidah salib. Maka saya telah diutus untuk memecahkan baja dan membunuh babi-babi, karena saya telah turun dari langit bersama para malaikat yang berada di kanan-kiriku”.[17]

Sebelum meninggalnya, yaitu pada tahun 1908 M, al-Qadiyani (Ghulam Ahmad) telah berwasiat kepada para pengikutnya agar mereka menulis di kuburannya nema Mirza Ghulam Ahmad Mau’ud (Mirza Ghulam Ahmad yang dijanjikan). Maksudnya yang dijanjikan akan masuk surge. Sepeninggal Mirza Ghulam Ahmad, para pengikut aliran Qadhiyaniyyah (Ahmadiyah) pecah jadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah benar-benar seorang nabi dan bahwa aliran Qadhiyaniyyah adalah sebuah agama. Pendapat ini dikemukakan oleh Nuruddin yang kemudian diteruskan oleh Mirza BasyirAhmad. Menurut mereka, roh-roh Nabi Muhammad, Isa dan nabi-nabi lainnya telah menitis dalam diri Mirza Ghulam Ahmad. Oleh sebab itu, ketika ia berbicara maka sebenarnya ia berbicara atas nama mereka.[18]

Sedangkan kelompok kedua, berpendapat bahwa Mirza hanyalah seorang wali Allah SWT saja. Ia hanya seorang mujaddid (pembaharu) pada awal abad ke-14. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW, “Sesungguhnya Allah SWT akan mengutus kepada umat ini pada setiap seratus tahun orang yang akan melakukan pembaharuan dalam agamanya.” Kelompok kedua ini disebut dengan Ahmadiyan Lohariyyah yang dipimpin oleh Maulay Muhammad Ali. Ia juga menggunakan tafsir dan takwil dalam menjelaskan perkataan-perkataan al-Qadhiyani, sehingga menurutnya, al-Qadhiyani bukanlah seorang nabi yang diutus Allah SWT. Menurutnya, Nabi Muhammad SAW adalah penutup para nabi. Meski demikian, tidak tertutup kemungkinan ada seorang dari umatnya yang dapat berdialog dengan Allah SWT, tetapi ia masih tetap menjadi umat Nabi Muhammad SAW. Andaikata ia disebut nabi, maka hanya dalam pengertian sebagai mujaddid yang memancarkan ilmu dari nabi SAW.[19] Kelompok kedua ini sangat aktif khususnya dalam bidang penerbitan, dakwah, kepimimpinan dan intelektual Islam mereka ini telah . menyebarkan risalah-risalah Qadhiyani ke seluruh dunia. Pusat-pusat penyebaran mazhab ini terletak di London, Berlin, dan Indonesia.[20]

3.2 Identitas sang pemimpin Ahmadiyah

Nama dan keturunan: Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah, mempunyai banyak nama dan keturunan. Suatu keistimewaan buat dia, konon semua itu diperoleh dari Tuhannya. Bahkan yang lebih menarik lagi, Mirza Ghulam Ahmad menguasai banyak bahasa, antaranya: Bahasa Urdu, Inggris, Arab, Parsi, dan bahasa Ibrani. Dengan bahasa-bahasa itulah ia berdialog dengan Tuhannya.

Puteranya yang mashur, Bashiruddin Mahmud Ahmad (1899-1965) yang menduduki tahta khalifah kedua dalam jema'at Ahmadiyah, menulis tentang saat-saat kelahiran ayahnya, sebagai berikut:

"Hadhrat Ahmad a.s. (Ghulam Ahmad) lahir pada tanggal 13 Pebruari 1835 sesuai dengan 14 Syawal 1250 hijrah, hari Jum'at pada waktu shalat shubuh, di rumah Mirza Ghulam Murtadha di desa Qadian. Beliau lahir kembar, yakni beserta beliau lahir pula seorang anak perempuan yang tidak berapa lama meninggal dunia. Demikianlah sempurna kabar ghaib yang telah ada dalam buku-buku Agama Islam, bahwa Imam Mahdi akan lahir kembar.

"Asal nama beliau hanyalah Ghulam Ahmad, atau nama lengkap (full name) beliau adalah Ghulam Ahmad." Kemudian terdapat di depan Ghulam Ahmad, sebuah nama lagi ialah Mirza. Dengan demikian nama kepanjangannya menjadi Mirza Ghulam Ahmad. Di antara ketiga sebutan tadi, hanya Ghulam sajalah yang tidak diperbincangkan. Sisanya yakni Mirza dan Ahmad, merupakan nama­-nama yang mengandung didalamnya arti dan tujuan yang istimewa.

Menurut Bashiruddin Mahmud Ahmad, perkataan atau sebutan nama MIRZA adalah untuk menyatakan bahwa ayahnya keturunan dari MUGHAL (Moghol). Bashiruddin melanjutkan bahwa ayahnya itu adalah keturunan haji Barlas, raja daerah Kesh, yang jadi paman Amir Tughlak Taimur.

Disinilah kiranya keturunan Moghol Mirza Ghulam Ahmad. Lebih lanjut Bashiruddin menulis:

"Dalam tahun-tahun yang akhir dari kerajaan Keiser Babar, yakni pada tahun 1530 masehi, seorang Moghol bernama Hadi Beg meninggalkan tanah tumpah darahnya ialah Samarkhand dan pindah ke daerah Gurdaspur di Punjab."

Beginilah yang mendirikan kota Qadian, tempat lahirnya Mirza Ghulam­Ahmad dan Ahmadiyahnya. Hadi Beg adalah termasuk dalam urutan keduabelas ke atas dari kakek-kakek Mirza Ghulam. Akhirnya lebih meyakinkan lagi tentang keturunan mogholnya itu, ayah Mirza Ghulam Ahmad, Mirza Ghulam Murtadha memberi tahu anaknya bahwa nenek- nenek moyangnya adalah dari keturunan Moghol.

Demikian kesaksian sejarah Ahmadiyah tentang darah Moghol yang, mengalir dalam tubuh Mirza Ghulam Ahmad. Sayang bahwa darah Moghol ini tidak menjadi kebanggaan bagi yang empunya maupun bagi Ahmadiyahnya. Mungkin dikarenakan arti maupun tujuan dari darah itu kurang atau tidak istimewa, atau samasekali tidak berarti.

Alasannya bisa diduga-duga mengapa darah Moghol sampai diabaikan begitu saja. Yang penting untuk diketahui ialah, bahwa setiap nama maupun keturunan yang dimiliki Mirza Ghulam Ahmad, bahkan gelar-gelarnya sekalipun, datangnya dari pemberian Tuhannya. Itulah sebabnya meskipun kenyataannya darah Moghol mengalir dalam tubuh Mirza Ghulam, akan tetapi karena bukan dari pemberian Tuhan, maka Mirza segera menumpangi kwalitet Mogholnya itu dengan darah lain yang baru. Ia berkata:

"Aku mendengar dari ayahku bahwa kakek-kakekku berdarah Moghol, akan tetapi aku mendapat wahyu dari Tuhan, bahwa kakek-kakekku berdarah Parsi."

Dengan perkataan "akan tetapi," lebih-lebih lagi ditambah dengan "mendapat wahyu dari Tuhan" maka praktis kata-kata atau ucapan ayah Mirza Ghulam tentang darah Moghol, menjadi lemah atau bisa gugur!

Seringkali diketemukan dalam ucapan-ucapan tokoh-tokoh Ahmadiyah adanya pertentangan satu dengan yang lain. Bahkan kadangkala seo­rang pimpinan Ahmadiyah berkata tentang sesuatu hal atau masalah, di lain kesempatan orang tersebut merobah atau mengganti ucapannya yang semula. Misalnya dari ucapan-ucapan khalifah kedua Ahmadiyah, Bashiruddin Mahmud Ahmad. Mula-mula ia berkata bahwa perkataan "Mirza" pada nama ayahnya, menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah dari keturunan Moghol. Akan tetapi di lain kesempatan ia berkata:

"Perkataan "Mirza" di dalam namanya Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. menunjukkan bahwa beliau a.s. adalah keturunan orang Parsi."

Di sini Ahmadiyah membuktikan bahwa Mirza Ghulam Ahmad memi­liki dobel keturunan, Moghol dan Parsi. Untuk membereskan makna dobel keturunan, maka Ahmadiyah menegaskan lagi:

"Pendiri Jema'at Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, berasal dari keluarga terhormat. MIRZA adalah gelar yang biasa diberikan kepada kaum ningrat keturunan raja-raja Islam dinasti Moghol berasal dari Parsi."

Demikianlah cara pemberesannya; raja-raja Islam dinasti Moghol yang berasal dari Parsi. Dengan susunan kalimat yang demikian, maka kesulitan yang terdapat pada dua buah tulisan Bashir yang berbeda, telah terpecahkan.

Lebih jelas lagi ialah, bahwa keturunan dalam darah yang mengalir dalam tubuh pendiri Ahmadiyah itu, hanyalah darah Moghol saja. Sedangkan keturunan Parsi yang dimiliki Mirza Ghulam tidak lain kecuali tem­pat, domisili, dimana kakek-kakeknya tinggal berdiam. Dengan kata lain, Mirza Ghulam Ahmad keturunan Moghol dari Parsi.

Namun demikian Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya lebih mengutamakan tempat asal kakek-kakeknya daripada darah yang mengalir dalam tubuh mereka. Parsi lebih penting dari Moghol, sebab di dalam Parsi itulah kepentingan Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya, terletak. Dari keturunan Parsi terletak makna dan arti maupun tujuan dari sebuah Hadits, yaitu pada saat Nabi Muhammad SAW sambil menaruh tangan beliau kepundak sahabat Salman al-Parisi, bersabda: "Sekiranya keimanan menggantung di bintang tsuraya, niscaya akan dicapai oleh laki-laki dari Parsi."

Mirza Ghulam Ahmad berkeyakinan bahwa yang dimaksud dan dituju dari sabda Nabi Muhammad s.a.w., tidak lain ialah untuk dirinya, karena dialah anak Parsi itu. Bahkan Tuhan memberi wahyu padanya:

"Pegang teguhlah iman itu wahai anak Parsi."

Sudah jelas bahwa Mirza Ghulam dan alirannya bertekad sebagai yang empunya hak mutlak atas sabda Nabi s.a.w. tersebut. Benarkah mereka berhak, benarkah Mirza Ghulam Ahmad yang dituju sabda Nabi Muhammad s.a.w.?

Padahal Mirza Ghulam Ahmad bukan keturunan Parsi, ia ketu­runan Moghol. Lebih-lebih lagi ia kelahiran India, berdomosili di India. Bahkan ayahnya maupun kakek-kakeknya sampai kepada Hadi Beg kakeknya yang keduabelas itu, berada di India. Abad enam-belas masehi mereka sudah di Hindustan. Sudah hampir tiga ratus tahun kakek-kakek Mirza Ghulam berurat berakar di India. Tigaratus tahun jauh daripada cukup untuk memberi titel pada ayah dan Mirza Ghulam Ahmad maupun pada kakek-kakeknya sebagai pribumi India. Ia harus dipanggil, tidak dengan panggilan "ya ibna­Al-Faras"melainkan dengan panggilan "ya ibnul Hind" wahai anak Hindustan.

Cara-cara yang ditempuh Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya mengambil Hadits tersebut di atas buat mereka, jelas merupakan pengingkaran mereka terhadap sejarah serta memutar balikkan makna dan tujuan yang sebenarnya dari Hadits tersebut.

Padahal tidak perlu menunggu sampai 1200 tahun kemudian serta memilih negeri India sebagai tempatnya, untuk menemukan maupun menunjuk orang yang dimaksud dan dituju dari sabda Nabi Muhammad s.a.w. tersebut. Justru pada saat-saat itulah dan di tempat Nabi bersabda makna dan tujuan dari ucapan Beliau terletak adanya.[21]

3.3 Gelar ‘Mirza’ bagi pendiri Ahmadiyah (Ghulam Ahmad)

Sebagai Mirza, Ghulam Ahmad sebenarnya biasa-biasa saja. Sebutan itu menjadi lazim terutama oleh para pegawai yang bekerja di kastilnya (semacam kerajaan tersendiri) yang luas. Namun sebutan itu tidak pernah ditashih (dikonfirmasi oleh para ulama lain yang lebih senior), terutama yang berkaitan dengan moralitas. Selain dikenal sebagai konglomerat, keluarga Ghulam Ahmad diketahui sangat dekat dengan penjajah (Inggris) di India, sejak dari kakeknya. Secara rutin leluhur Ghulam Ahmad menyokong kolonialisme, bahkan untuk menumpas para inlander. Sudah ribuan ekor kuda disetorkan keluarga Ghulam Ahmad untuk mempekuat infanteri kolonial.

Kedekatan Ghulam Ahmad dengan penjajah, menyebabkan ratu Inggris pada tahun 1850 memberinya gelar Mirza, dengan beslit berbunyi “Mirza Ghulam Ahmad, tuan yang patut dinabikan.” Namun, menyokong program penjajah untuk menumpas perjuangan kemerdekaan, tentu saja berlawanan dengan akidah Islam. Apalagi terhadap penjajah yang kafir. Sejak itu pula Ghulam Ahmad termarjinalkan di tataran para imam di India. [22]

3.3 Latar belakang Ahamadiyah di Indonesia

Pada masa Khalifah II Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, Jemaat Ahmadiyah mulai mengembangkan fahamnya ke pelbagai Negara, termasuk ke Indonesia. Ahmadiyah Lohare adalah yang pertama masuk ke Indonesia, yang dibawa oleh seorang mubaligh Khawajah Kamaluddin pada tahun 1922. Di antara hasil dakwahnya adalah Ahmad Nuruddin bersama beberapa orang dari Perguruan Sumatera Thawalib. Mereka kemudian melanjutkan studi ke Lohare dan ke Qadian. Atas permohonan mereka, seorang mubaligh Ahmadiyah bernama Maulana Rahmat Ali diutus ke Indonesia pada tahun 1925.[23]

Pada tahun 1935, Ahmadiyah Qadhiyan masuk ke Indonesia, dan kini sudah mempunyai sekitar 200 cabang, terutama Jakarta, Jawa Barat, JawaTengah, Sumatera Barat, Palembang, Bengkulu, Bali, NTB dan lain-lain. Pusat Ahmadiyah Qadhiyan berada di Parung, Bogor, Jawa Barat, berupa bangunan mewah yang dijadikan perumahan para pemimpin dan pegawai Ahmadiyah, di atas tanah seluas 15 hektar, terletak di jalan Raya Parung Jampang, Bogor. Mereka menamakannya dengan sebutan Kampus Mubarak. Pada 15 Juli 2005 kawasan ini diserbu sejumlah massa yang digerakkan oleh Habib Abdurrahman Assegaf.[24]

3.4 Di Antara Bukti-bukti penodaan Ahmadiyah terhadap Agama Islam

A. Pemutarbalikan ayat-ayat al-Qur’an

1. Di dalam al-Qur’an disebutkan beberapa potongan ayat berikut:

!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& Îû Ï's#øs9 Íôs)ø9$#

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan” (QS. Al-Qadr: 1)

Èd,ptø:$$Î/ur…. çm»oYø9tRr& Èd,ptø:$$Î/ur tAttR ….

”Dan Kami turunkan (Al Quran) itu dengan sebenar-benarnya dan Al Quran itu telah turun dengan (membawa) kebenaran.” (QS. Al-Isra’: 105)

(#qä9$s%…. #x»yd $tB $tRytãur ª!$# ¼ã&è!qßuur s-y|¹ur ª!$# ¼ã&è!qßuur ….

“Mereka berkata : "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita". dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Al-Ahzab: 22)

4 tb%x.ur ãøBr& «!$# »wqãèøÿtB ….

Dan ketetapan Allah pasti berlaku.” (QS. An-Nisa: 47)

Sedangkan dalam tadzkirah, potongan ayat-ayat tersebut dirangkaikan dengan beberapa perubahan, dan disebutkan beberapa kalidengan redaksi yang berbeda, yaitu:

إنّا أنزلناه قريبا من القاديان وبالحقّ نزّلناه وبالحقّ نزّل صدق الله ورسوله وكان أمر الله مفعولا

“Sesunguhnya Kami telah meurunkannya (Tadzkirah) dekat Qadian dan dengan sebenarnya kami menurunkannya dan dengan sebenarnya telah turun. Maha Benar Allah dan Rasulnya dan ketetapan Allah pasti berlaku.” (Tadzkirah, hal.74-75, 360, 367)

إنّا أنزلناه قريبا من القاديان وبالحقّ نزّلناه وبالحقّ نزّل وكان أمرالله مفعولا

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Tadzkirah) dekat Qadian dan dengan sebenarnya kami menurunkannya dan dengan sebenarnya telah turun. Dan ketetapan Allah pasti berlaku.” (Tadzkirah, hal.275)[25]

2. Dalam al-Qur’an disebutkan beberapa potongan ayat berikut

!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& Îû Ï's#øs9 Íôs)ø9$#

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. Al-Qadr: 1)

Sedangkan dalam Tadzkirah, ayat tersebut ditulis dengan penambahan, yaitu:

إنّا أنزلناه في ليلة القدر إنّا كنّا منزلين

“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Tadzkirah ini) pada malam Lailatul Qadr, sesungguhnya Kami benar-benar menurunkannya.” (Tadzkirah, hal. 569)[26]

3. Dalam al-Qur’an disebutkan ayat mengenai fungsi kerasulan Muhammad SAW

!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9

“Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107)

Sedangkan dalam Tadzkirah, terdapat ayat buatan Mirza Ghulam Ahmad tentang kerasulannya,

إنّا أرسلنا أحمدإلى قومه فاعرضوا وقالوا كذّاب أشر

“Sesungguhnya Kami mengutus Ahmad kepada kaumnya, akan tetepi mereka berpaling dan mereka berkat: seorang yang amat pendusta lagi sombong”. (Tadzkirah, hal.375 & 391)[27]

B. Penodaan terhadap syari’at agama Islam

1. Kawin harus antara sesama Jemaat Ahmadiyah

Pada tahun 1908 itu juga, untuk mendisiplinkan dan mengkokohkan Jemaat, serta untuk memelihara cirri khas keahmadiyahan, Hazrat Ahmad as. telah menganjurkan kepada orang-orang Ahmadi peraturan-peraturan perkawinan serta cara-cara pergaulanhidup, dengan menetapkan bahwa wanita Ahmadi tidak boleh kawin dengan orang-orang non Ahmadi.”[28]

2. Mirza Ghulam Ahmad megaku sebagi nabi dan rasul

Menurut al-Qur’an setiap nabi adalah rasul dana sebaliknya setiap rasul adalah nabi. Seorang dikatakan nabi kareana ia mendapat kabar ghaib dari Allah SWT yang mengatakan ia adalah seorang nabi. Dan ia disebutkan rasul karena ia diutus oleh Allah SWT kepada manusia. Selaras dengan itu, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as adalah nabi dan rasul.”[29]

3. Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Masih Mau’ud

“…..dan akhirnya, dari atas berkat rohaninya Tuhan mengirimkan kepada umat manusia seorang Masih Mau’ud kedunia ini, yang kedatangannya sengat diperlukan guna menyempurnakan bangunan gedung Islam….. “[30]

4. Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai nabi dan rasul yang mendapat wahyu Tuhan

“…..Yang sebenarnya adalah bahwa itu wahyu suci dari Allah SWT yang diwahyukan kepadaku, di dalamnya mengandung kata-kata rasul, mursal, dan nabi bukn hanya sekali atau dua kali, malah berates-ratus kali digunakan……”

“Di dalam wahyu ini nyata benar, bahwa aku dipanggil dengan nama Rasul……”

محمّدرسول الله والّذين معه أشدّء على الكفّاررحماء بينهم

“Muhammad Rasulullah dan orang-orang yang beriman besertanya cukup berani dan sangat bersemangat terhadap orang-orang yang ingkar, tetapi lemah lembut dalam kasih terhadap sesama kawan mukmin.”

“Dalam wahyu ini Allah SWTmenyebutkan namaku Muhammad dan Rasul…..”[31]

3.5 Fatwa-fatwa ulama tentang Ahmadiyah

1. Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Setiap orang yang menelaah contoh-contoh aqidah Ghulam Ahmad yang disebutkan oleh penanya yang ada 20 contoh yang dijelaskan di dalam pertanyaan yang tersebut di dalam majalah al-Hajj, setiap oran gyang menelaah contoh-contoh aqidah ini dari ahli ilmu dan bashiroh maka akan mengetahuinya dengan qoth’I yang tidak tercampur sedikitpun keraguan bahwa penganutnya, yang meyakininya, dan mendakwahkannya, adalah kafir kufur akbar murtad dari Islam yang wajib diminta bertaubat.[32]

2. Syekh al-Allamah Sholih bin Fauzan al-Fauzan

Tidak henti-hentinya para pendusta mengaku nabi muncul setiap zaman, hingga muncul sejak beberapa tahun yang lalu seorang laki-laki di Pakistan yang bernama Ghulam Ahmad al-Qadhiyani yang mengklaim sebagai nabi dan diikuti oleh suatu kaum, dan jadilah sekarang ini dia memiliki pengikut yang bernama al-Qadiyaniyah, mereka ini telah dikafirkan oleh kaum Muslimin dab mereka leper.

Orang yang mengklaim kenabian sesudah Muhammad SAW maka dia adalah kafir, karena telah mendustakan Allah, karena Allah berfirman, (Al-Ahzab: 40)

Karena telah mendustakan Rasulullah yang telah bersabda,

أناخاتم النّبيّين

“Aku adalah penutup para nabi”. (Muttafaqun ‘Alaih)

Karena telah mendustakan ijma’ kaum Muslimin, karena kaum Muslimin sepakat bahwa tidak ada nabi sesudah Muhammad SAW.

Jika ada yang bertanya, “Bukankah al-Masih Isa bin Maryam akan turun di akhir zaman sebagaimana telah mutawatir hadits-hadits tentang itu?” Maka kami katakana, “ Ya, dia akan turun di akhir zaman akan tetapi tidaklah turun membawa syari’at baru, sesungguhnya dia turun beramal dengan syari’at Nabi Muhammad SAW, maka dai termasuk salah satu mujaddid dan seorang da’i kepada kebaikan, berhukum dengan syari’at Islam, mengikuti Muhammad SAW, maka turunnya Isa al-Masih tidaklah menyelisihi sabda Rasulullah SAW, “Aku penutup para nabi” , dan firman Allah, “Dan Muhammad SAW adalah penutup para nabi.” Karena dia tidaklah turun dengan syari’at yang baru, dan tidak turun sebagai seorang nabi yang diutus kepada manusia, sesungguhnya dia turun dengan berhukum dengan syari’at Muhammad SAW, dan mengikuti Muhammad SAW.[33]

3. Syekh al-Allamah al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani

Ketahuilah bahwa termasuk dari mereka para pendusta yang mengaku nabi adalah Mirza Ghulam Ahmad al-Qadhiyani al-Hindi, yang mengklaim pada masa penjajahan Inggris di India bahwa dia adalah Imam Mahdi yang ditunggu, kemudian dia mengklaim bahwa dia adalah Isa AS, kemudian teraakhir dia mengaku sebagai nabi, dan diikuti oleh banyak orang yang tidak memiliki ilmu tenteng Kitab dan Sunnah, danaku telah bertemu dengan sebagai propagandis mereka dari orang-orang India dan Suria, dan terjadi perdebatan-perdebatan antara aku dan mereka, yang salah satu perdebatan tersebut direkam dalam tulisan, aku ajak mereka di dalam tulisan tersebut agar mereka mau berdebat tentan keyakinan mereka bahwa akan dating nabi yang banyak sepeninggalan Nabi Muhammad SAW diantara nabi-nabi tersebut adalah nabi mereka Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani. Pada awalnya mereka berusaha berkelit di awal jawaban mereka, mereka hendak memalingkan perhatian dari perdebatan tentang kayekinan mereka tersebut, maka mereka mengalami kekalahan yang telak, dan para hadirin mengetahui bahwa mereka di atas kebatilan. Mereka memiliki banyak aqidah-aqidah lain yang batil, mereka menyelisihi ijma’ umat Islam secara yakin, di antaranya mereka menolak kebangkitan jasad manusia, dan bahwasanya kenikmatan dan adzab dirasakan oleh ruh saja bukan oleh jasad, dan bahwasanya adzab bagi orang kafir suatu saat akan berhenti. Mereka mengingkari wujud jin dan menyangka bahwa jin-jin yang disebut di dalam al-Qur’an adalah sekelompok manusia! Mereka mentakwil (menyelewengkan) nash-nash al-Qur’an yang menyelisihi aqidah-aqidah mereka dengan takwil-takwil yang mungkar seperti model-model takwil Bathiniyah dan Qoromithoh. Karena itulah maka Inggris mendukung mereka dan membantu Mirza Ghulam Ahmad untuk melawan kaum Muslimin, dan Mirza Ghulam Ahmad sendiri mangatakan, “Haram atas kaum Muslimin memerangi Inggris!” dan masih banyak lagi kedustaan-kedustaan dan kesesatan-kesesatanny. Dan telah ditulis kitab-kitab yang banyak tentang bantahan kepadanya, dan penjelasan tentang keluarnya dia dari jama’ah kaum Muslimin, maka hendaknya dirujuk kepada kitab-kitab tersebut agar diketahui tentang jati diti Ahmadiyah ini”.[34]

4. Syekh al-Allamah Bakr Abu Zaid

Kemudian aku melihat bahwa kelompok-kelompok Bathiniyah, yang didirikan oleh penjajah Rusia, Inggris, dan Yahudi Internasional, yang dinisbahkan secara dholim kepada Islam, untuk menghancurkanya dan merusaknya, diantara kelompok-kelompok tersebut adalah: al-Babiyah, nisbah kepada Mirza Ali Muhammad asy-Syairozi, yang bergelar Babul Mahdi, lahir tahun 1235 dan mati tahun 1265. Al-Bahaiyah, nisbah kepad al-Baha’ Husain bin Mirza, yang lahir di Iran pada tahun 1233 dan mati tahun 1309. Dan al-Qadhiyaniyyah, nisbah kepada Mirza Ghulam Ahmad al-Qadhiyani yang mati tahun 1325.

Kelompok-kelompok Bathiniyyah ini telah dihukumi kafir dengan ijma’ kaum Muslimin, dan telah muncul keputusan-keputusan syar’i Negeri-negeri Islam atas kekufurannya.”[35]

5. Syekh Ihsan Ali Zhahir

Syekh Ihsan Ali Zhahir yang sangat menguasai ke-Ahmadiyahan mengatakan, “Setelah seluruh fakta ini, saya tidak tahu, kenapa mereka masih mengenakan baju Islam dan memperdaya kaum Muslimin. Sebab, bila mereka benar-benar memiliki sifat keberanian, mestinya tertuntut untuk memproklamirkan bahwa mereka bukan kaum Muslimin dan tidak ada hubungannya dengan kaum Muslimin. Tidak menutupi diri dengan nama agama yang lurus ini (Islam). Tapi, seharusnya menyuarakan agama mereka yang berdiri sendiri dan pemahaman mereka yang baru. Seperti yang dilakukan golongan Bahaiyah yang berani berterus-terang menyampaikan maklumat terpisahnya mereka dari seluruh agama yang ada. Ini lebih baik bagi mereka.

Akan tetapi, seperti kami ungkap dalam buku Al-Qadhiyaniyyah ‘Amilatul Isti’mar, bahwa tujuan mereka ialah mencoreng muka Islam dana melontarkan keraguan terhadap akidah kaum Muslimin, mengais materi (dari penjajh Inggris), dan melayani kekusaan penjajah dan mempropagandakan dakwah batil tesebut di benua Afrika tempat-tempat lainnya. Hingga Islam mesti menanggung kerugian dan kaum Muslimin pun terpedaya karenanya.[36]

6. Fatwa Lajnah Daimah Saudi Arabia

Telah datang suatu pertanyaan ke Lajnah Daimah yang berbunyi: “Apa hokum agama baru dan pengikutnya; yaitu yang disebut Ahmadiyah?”

Jawaban: “Telah munc ul keputusan dari pemerintah Pakistan bahwa kelompok Ahmadiyah ini telah keluar dari Islam, demiian juga telah muncul keputusan dari Robithoh Alam Islami Mekkah Mukarromah bahwa Ahmadiyah telah keluar dari Islam, sebagaimana di dalam mukatamar Organsasi-organisasi Islam yang diadakan di Robithoh tahun 1394 H, dan telah disebarluaskan sebuah risalah yang menjelaskan pokok-pokok Ahmadiayah ini, bagaiman perkembangannya, dan yang lainnya yang menjelaskan hakikatnya.

Kesimpulan bahwa Ahmadiyah adalah sebuah kelompok yang mengklaim bahwa Mirza Ghulam Ahmad al-Hindi adlah seoran nabi yang mendapatkan wahyu dari Allah dan bahwasanya tidak sah keislaman setiap orang hingga beriman kepada kenabian Mirza Ghulam Ahmad, padahal dia dilahirkan pada abada ke-13, Allah SWT telah mengabarkan di dalam al-Qur’an bahwa nabi kita Muhammad SAW adalah penutup para nabi, dan para ulam telah spakat atas hal itu. Barangsiapa yang mengklaim bahwa ada nabi yang datang sesudah beliau yang mendapat wahyu dari Allah SWT maka dia telah kafir karena ia telah mendustakan Kitabullah, mendustakan hadits-hadits yang shohih dari Rasulullah SAW yang menunjukkan bahwa beliau adalah penutup para nabi, dan menyelisihi ijma’ umat Islam. Kemudianjuga tertera di dalam Fatwa Lajnah Daimah no.4317: “Kenabian telah diakhiri oleh nabi kita Muhammad SAW maka tidak ada nabi yang datang sesudahnya, barangsiapa yang mengklaim kenabian sesudahnya, berdasarkan dalil-dalil dari Kitab dan Sunnah, barangsiapa yang mengklaim kenabian sesudah itu maka dia adalah seorang pendusta, di antara para pendusta tersebut adalah Ghulam Ahmad al-Qadhiyani, maka kliam kenabian bagi dirinya adalah kedusataan, dan apa yang disangka oleh Ahmadiyah Qadiyani tentang kenabiannya maka adalah sangkaan yang dusta. Dan telah keluar keputusan dari Majlis Hai’ah Kibar Ulama Saudi Arabia yang menggolongkan bahwa Ahmadiyah adalah kelompok yang kafir dengan sebab hal itu.”[37]

7. Fatwa Majma’ Fiqih OKI

Sesungguhnya apa yang diklaim Mirza Ghulam Ahmad tentang kenabian dirinya, tentang risalah yang dibawanya dan tentang turunnya wahyu kepada dirinya adalah sebuah pengingkaran yang tegas terhadap ajaran agama yang sudah diketahui kebenarannya secara qoth’I dan meyakinkan dalam ajaran Islam, yaitu bahwa Muhammad Rasulullah SAW adalah nabi dan rasul terakhir dan tidak ada lagi wahyu yang akan diturunkan kepada seorang pun setelah itu. Keyakinan yang seperti diajarkan Mirza Ghulam Ahmad tersebut membuat dia sensdiri dan pengikutnya menjadi murtad, keluar dari agama Islam. Aliran Qadiyaniyyah dan Aliran Lohariyyah adalah sama, meskipun ajarannya yang disebut terakhir (Lohariyyah) meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah sebagai baying-bayang dan perpanjangan dari Nabi Muhammad SAW.[38]

8. Kutipan Fatwa Mejelis Ulama Indonesia

1. Menegaskan kembali keputusan fatwa MUI dalam MUNAS II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari islam)

2. Bagi mereka yang terlanjur mengikuti Aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq, yang sejalan dengan al-Qur’an dan al-Hadits.

3. Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggala 21 Jumadil Akhir 1426 H / 28 Juli 2005 M.[39]

IV.Penutup

Perkembangan ajaran Ahmadiyah harus diwaspadaai oleh setiap Muslim. Sebab, hakikatnya merupakan usaha pemurtadan. Hingga tidak boleh dilihat dengan sebelah mata. Tatkala mereka mengalami kegagalan dalam mendakwahkan agama Ahmadiyah di daratan India, mereka membidik benua Eropa dan Afrika. Dan ternyata lebih berhasil dalam memurtadkan kaum Muslimin. Pasalnya, dalam kurun waktu 70 tahun sejak pertama kali dideklarasikan dan dengan dukungan penuh dari kaum kolonialis, jumlah penganut Ahmadiyah India hanya berkisar pada angka ribuan. Padahal, Jawaharlal Nehru saat itu menjabat PM India juga mendukung gerakan pemurtadan itu. Karena kaum Muslimin di dasana mengetahui hakikat busuk Ahmadiyah. Akan tetapi, di benua Eropa dan Afrika, dalam rentang waktu 15 tahun saja, penganut Ahmadiyan berjumlah jutaan. Kata Syekh Ihsan, penyebabnya ialah pada waktu itu jumlah da’i Islam di sana tidak banya.

Syekh Ihsan Ilahi Zhahir berpesan kepada segenap umat Islam, “Usaha untuk melawan Ahmadiyah guna menghentikan ancamannya sudah menjadi kewajiban dalam Islam, politik, dan secara individual. Dari kaca mata agama, karena telah mengobrak-abrik ajaran Islam dan menghancurkan rukun-rukunya. Adapun dari sudut politis, lantaran Ahmadiyah merupakan kepanjangan tangan kekuasaan kolonialis di setiap distrik yang ditempati. Dan, secara individu, telah dilakukan oleh DR Muhammad Iqbal yang menyanggah pernyataan PM Jawaharlal Nehru yang mendukung ajaran agama Ahmadiyah.”

Semoga Allah melindungi kita semua dari segala fitnah yang tampak maupun yang tersembunyi. Wallahul Musta’an.

Refrensi

Abdul Hasan Ali Nadwi, Sayyid, Qadianism a Critical Study, (Terj.) Tubagus Mundzir, MA, Jakarta: Fadlindo Media Utama, 2005

Amin Djamaluddin, Muhammad, Ahmadiyah dan Pembajakan al-Qur’an, Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, 2002, Cet.III

Andi Bastoni, Hepi, “Aliran Sesat Ancam NKRI”, Sabili, no.10 TH XV Dzulqaidah 1428

Atabik Ali & Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarata: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krepyak, 2000, Cet.IV

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Utama, 2000, Cet.II

Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, Arif, “Ahmadiyah Seluk Beluk & Kesesatannya”, As-Sunnah, 01, VIII, 2008

Hamka, Tafsir al-Azhar, Singapore: Kejaya Print Dte Ltd, 2007, Cet.VII

Hasan al-Hadar, Abdul , Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah, 1977 M, http://pakdenono@yahoo.com

http://asdiy4nto.wordpress.com, Pendampingan Pertobatan Ahmadiyah

Minhal, Abu , “Menunggu Keberanian Golongan Ahmadiyah”, As-Sunnah,09, XII, 2008

Mun’im al-Fahani, Abdul, Mausu’ah al-Harakat wal Mazahib al-Islamiyah Fil ‘Alam, (Terj.) Muhtarom, Lc, Dpl, Jakarta: Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), 2006, Cet.I

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahas Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999, Cet.X

Qutb, Sayid, Fi Zhilalil Qur’an, (Terj.) Aunur Rafiq Shaleh, Lc, Jakarta: Robbani Press, 2000, Cet.I

Rasyid Ridha, Muhammad, Tafsirul Manar, Kairo: Maktabah at-Taufikiyah

The Presidential of Islamic Research IFTA and Preaching Offices, Inilah Qadhiyani, Jakarta: The Attache For Relegious Affairs

Tim Prima Pena, “Kamus Ilmiah Populer Edisi Lengkap, Surabaya: GITAMEDIA PRESS, 2006, Cet.I

Yahaya, Mahayudin, Ensiklopedi Sejarah Islam, Malaysia: Universiti Kebangsaan Malaysia, 1988, Cet.I, Jilid.IV



[1] Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kaus Besar Bahas Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999, Cet.X, hal.930

[2] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Utama, 2000, Cet.II, hal.997

[3] Ibid, hal.998

[4] Atabik Ali & Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarata: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krepyak, 2000, Cet.IV, hal.1210

[5] Sayid Qutb, Fi Zhilalil Qur’an, (Terj.) Aunur Rafiq Shaleh, Lc, Jakarta: Robbani Press, 2000, Cet.I, hal.34

[6] PROF. DR.Hamka, Tafsir al-Azhar, Singapore: Kejaya Print Dte Ltd, 2007, Cet.VII, hal.85

[7] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsirul Manar, Kairo: Maktabah at-Taufikiyah

[8] Hepi Andi Bastoni, “Aliran Sesat Ancam NKRI”, Sabili, no.10 TH XV Dzulqaidah 1428, hal.19

[9] Sayyid Abdul Hasan Ali Nadwi, Qadianism a Critical Study, (Terj.) Tubagus Mundzir, MA, Jakarta: Fadlindo Media Utama, 2005, Cet.I, hal.3

[10] Ibid, hal.4

[11] Ibid, hal.5

[12] Ibid, hal.6

[13] Ibid, hal.7

[14] The Presidential of Islamic Research IFTA and Preaching Offices, Inilah Qadhiyani, Jakarta: The Attache For Relegious Affairs, hal.5

[15] Ibid

[16] Ibid, hal.6

[17] Ibid, hal.8

[18] DR. Abdul Mun’im al-Fahani, Mausu’ah al-Harakat wal Mazahib al-Islamiyah Fil ‘Alam, (Terj.) Muhtarom, Lc, Dpl, Jakarta: Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), 2006, Cet.I, hal.709

[19] Ibid, hal.710

[20] Mahayudin Hj. Yahaya, Ensiklopedi Sejarah Islam, Malaysia: Universiti Kebangsaan Malaysia, 1988, Cet.I, Jilid.IV, hal.1066

[21] Abdul Hasan al-Hadar, Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah, 1977 M, di kutip dari situs padenono@yahoo.com

[22] http://asdiy4nto.wordpress.com, Pendampingan Pertobatan Ahmadiyah

[23] M. Amin Djamaluddin, Ahmadiyah dan Pembajakan al-Qur’an, Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, 2002, Cet.III, hal.197

[24] Hartono Ahmad Jaiz, Nabi-nabi Palsu dan Para Penyesat Umat, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008, Cet.I, hal.267

[25] M Amin Djamaluddin, Ahmadiyah Menodai Islam, Jakarta: Lembaga Penelitian Dan Pengkajian Islam, 2007, Cet.I, hal.55

[26] Ibid, 56

[27] Ibid, 57

[28] Ibid, hal.61 (dikutip dari buku karangan Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad-Imam Mahdi dan Masih Mau’ud Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1995, Cet.II, hal.46

[29] Ibid, (dikutip dari buku Syafi R Batuah, Ahmadiyah, Apa dan Mengapa?, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1986, Cet.XVII, hal.5

[30] Ibid, (dikutip dari buku Mirza Ghulam Ahmad, Ajaranku, Yayasan Wisma Damai, 1993, Cet.VI, hal.10

[31] Ibid, hal.62 (dikutip dari buku Mirza Ghulam Ahmad, Memperbaiki Suatu Kesalahan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia cabang bandung, 1993, hal.3

[32] Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, “Ahmadiyah Seluk Beluk & Kesesatannya”, As-Sunnah, 01, VIII, 2008, hal.24

[33] Ibid

[34] Ibid

[35] Ibid, hal.25

[36] Ust. Abu Minhal, “Menunggu Keberanian Golongan Ahmadiyah”, As-Sunnah,09, XII, 2008, hal.56

[37] Arif FAthul Ulum bin Ahmad Saifulah, Loc.Cit.

[38] Ibid, hal.26

[39] Ibid, hal.26

Postingan Lama