Tahun Duka Cita dan Peranan Istri Beserta Keluarga Dekat
0 komentar Diposting oleh Mujahid Muda di 08.35I. Mukadimah
Alahamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah mengutus para nabi sebagai da’I dan pemberi pertunjuk, mengutus para rasul sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan dan menjadikan mereka sebagai cahaya dan sinar bagi alam semesta. Allah Ta’ala berfirman, (Al-An’am: 48).
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada hamba Allah dan Rasul-Nya, Muhammad SAW, yang diutus Allah dengan membawa petunjuk dan agama yang benar hingga hari kiamat, sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, da’I kepada Allah dengan izin-Nya. Allah Ta’ala berfirman, (Al-Ahzab: 40).
II. Di balik tahun duka cita dan dampaknya kepada Nabi SAW
Kaum Muslimin baru saja keluar dari lembah Syi’ib, satu daerah tandus di luar kota Mekkah, dimana mereka terpencil dan dipencilkan selama lebih kurang tiga tahun dengan segala macam kekurangan dan penderitaan. Sebagian kaum Muslimin sudah hijrah ke Abbessinia, dengan motif untuk mengurangi korban-korban yang jatuh. Yang masih tinggal di kot Mekkah pada waktu itu hanya lebih kurang separo dari kaum Muslimin, tidak lebih 100 orang. Teror kaum reaksioner (Quraiys) masih terus mengancam kaum Muslimin.
Pada saat situasi yang demikianlah, terjadi dua musibah yang menimpa pribadi Rasulullah. Pertama, paman beliau Abu Thalib meninggal dunia. Kedua, tiga hari sesudah itu, wafat pula istri Rasulullah, Sayyida Khadijah.
Dua peristiwa itu merupakan pukulan jiwa dan batin yang amat berat terhadap Nabi Muhammad SAW, sehingga bagi Rasulullah dan kaum Muslimin, tahun itu dinamakan ‘ammul hazn, tahun duka cita.[1]
A. Peranan dan dampak kematian Abu Thalib bagi dakwahnya Nabi SAW
Abu Thalib adalah paman Nabi Muhammad SAW dan orang yang memelihara aginda setelah datuknya Abd al-Muthallib meninggal. Abu Thalib seorang ahli perniagaan dan telah berniaga bersama-sama anak saudaranya itu ke Syiria, sewaktu Muhammad berusia dua belas tahun. Abu Thalib yang ketika itu pemimpin Banu Hashim telah berusaha untuk melindungi Nabi Muhammad SAW dari pada diazab oleh kaum Quraisy di Mekkah, walaupun beliau sendiri tidak memeluk Islam.[2]
Ketika penyiaran Islam terus berkembang ke seluruh kota Mekkah, kaum Quraisy tidak dapat menahan kemarahannnyakepada Nabi, namun mereka tidak berani menyakitinya, karena segan kepada Abu Thalib. Karena itu mereka datang mengahadap Abu Thalib denga harapan agar mencegah Nabi dari kegiatan dakwah.
“Hai Abu Thalib, sesungguhnya engkau adalah orang tua dan terpandang di tengah kita. Kami telah meminta engkau agar engkau mau mencegah anak saudaramu, namun tidak engkau lakukan. Sungguh kami sudah tudak dapat bersabar lebih dari ini, kami tak dapat membiarkan anak saudaramu dari mencaci nenek kami dan menghinakan tuhan-tuhan kita. Kami harap kamu cegah dia atau kami sendiri yang menghadapinya sampai salah satu, apakah kami atau dia yang binasa.”[3]
Keluhan bangsa Quraisy tersebut sangat dalam sekali artinya bagi Abu Thalib. Karena arti keluhan itu memberikan pilihan satu atau dua, pilah Muhammad atau mereka. Jika beliau pilih Muhammad, berarti kaum Quraisy akan berlepasa tangan dari padanya dan jika memihak kaum Quraisy berarti Muhammad yang dipeliharaya sejak kecil akan terlepas daripadanya. Kini Abu Thalib berhadapan dengan dua problema yang sukar dihadapinya. Untuk itu beliau terpaksa memanggil Nabi Muhammad dan berkata secara terus-terang:
“Hai anak saudaraku, kaummu telah datang kepadaku dan mengeluh begini dan begitu, janganlah engkau bebani berat kepadaku yang tidak dapat kutanggung.”
Ketika Nabi mendengar keterangan Abu Thalib yang jelas itu, beliau mengira bahwa bahwa pamannya telah berpihak pada kaum Quraisy dan berlepas tangan daripadanya. Kerena itu beliau dengan spontan menjawab pada Abu Thalib dengan tegas,
“Hai pamanku, demi Allah jika mereka meletakkan matahari di kananku dan bulan di kiriku agara aku maninggalkan dakwah Islamiyah, pasti akan kutinggalkan, sebelum aku diberikan sukses oleh Allah atau binasa karenanya.”
Beliau menjawab ucapan pamannya itu dengan penuh semangat dan beliau sampai menangis. Setelah itu beliau pergi menyingkir dari pamannya. Ketika pamannya melihat betapa beratnya apa yang ditanggung oleh kemenakannya itu, maka beliau memanggilnya kembali dan berakata,
“Hai kemenakanku, datanglah kemari.”
Setelah Nabi datang di hadapannya beliau berkata,
“Teruskan saja apa yang telah kamu kerjakan sekehendak hatimu, demi Allah aku tidak akan menyerahkan kamu kepada mereka sedikitpun.”
Walaupun kaum Quraisy telah berkali-kali memohon pada Abu Thalib untuk mencegah anak saudaranya dari kegiatanny berdakwah, namun kegiatan Nabi sedikitpun tidak berkurang, bahkan makin hari kaum Muslimin makin bertambah jumlahnya. Mereka tidak berani menyakiti Nabi karena mereka masih segan terhadap Abu Thalib yang melindunginya.[4]
Sakit Abu Thalib semakin bertambah parah, tinggal menunggu saat-saat kematiannya dan akhirnya dia meninggal pada bulan rajab tahun kesepuluh dari nubuwah, sekitar enam bulan setelah keluar dari pemboikotan. Tidak bisa dibayangkan apa saja perlindungan yang diberikan Abu Thalib terhadap Rasulullah SAW. Dia benar-benar menjadi benteng yang ikut menjaga dakwah Islam dari serangan orang-orang yang sombong dan dungu. Namun sayang, ia tetap berada pada agama leluhurnya, sehingga sama sekali tidak mendapat keberuntungan.[5] Menurut Ibnu Ishaq, setelah Abu Thalib meninggal dunia, orang-orang Quraisy semakin bersemangat utnutk manyakiti Rasulullah SAW dari pada saat daia masih hidup. Sehingga ada diantara mereaka yang tiba-tiba mendekati beliau lalu menaburkan debu di atas kepala beliau. Beliau mansuk ke rumah dan debu-debu itu masih memenuhi kepala belaiu. Lalu salah seorang putri beliau bangkit untuk membersihkan denu-debu itusambil menangis. Beliau bersabda kepadanya, “Tak perlu menangis wahai putriku, karena Allah akan melindungi bapaku.”
Pada saat-saat seperti itu beliau bersabda, “Aku tidak pernah menerima gangguan yang paling kubenci dari Quraisy, hingga Abu Thalib meninggal dunia.”[6]
B. Peranan dan dampak kematian Sayyida Khadijah bagi dakwahnya Nabi SAW
Menurut riwayat, belum beberapa lama Nabi SAW dan segenap pengikut berlian bebas dari bencana pemboikotan, dengan sekonyong-konyong istri beliau, Khadijah yang sangat berjasa begi beliau dan bagi perkembangan dan penyiaran dakwah dakwah Nabi SAW selama sepuluh tahun, meninggal dunia. Khadijah wafat dalam usia 65 tahun. Adapun lamanya bersuami dengan Rasulullah kurang lebih selama 25 tahun. Selama beliau bersuami dengan Nabi SAW, beliau dikaruniai tiga orang putra dan empat orang putrid.[7]
Kahadijah termsuk salah satu nikmat yang dianugerahkan Allah kepada Rasulullah SAW. Dia mendampingi selama seperempat abad menyayangi beliau di kala resah, melindungi beliau pada saat-saat kritis, menolong beliau dalam menyebarkan risalah, mendampingi beliau dalam menjalankan jihad yang berat, rela menyerahkan diri dan hartanya kepada beliau. Rasulullah bersabda tentang dirinya, “Dia beriman kepadaku saat semua orang mengingkariku, membenarkan aku selagi semua orang mendustakan aku, memyerahkan hartanya kepadaku selagi semua orang tidak mau memberikannya, Allah menganugerahiku anak darinya selagi wanita selainnya tidak memberikannya kepadaku).[8]
III. Kesimpulan
Sudah menjadi ketentuan Allah bahwa Rasulullah SAW harus kehilangan orang yang secara lahiriah melindungi dan mendampinginya, Abu Thalib dan Khadijah. Ini antara lain utnutk menampakkan dua hakikat penting.
Pertama, sesungguhnya perlindungan, pertolongan, dan kemenangan itu hanya datang dari Allah. Allah telah berjanji untuk melindungi rasulnya dari akum Musyrik danmusuh-musuhnya. Karena itu dengan atau tanpa pembelaan manusia, Rasulullah SAW tetap akan dijaga dan dilindungi oleh Allah dan bahwa dakwahnya pada akhirnya mencapai kemenangan.
Kedua, ‘Ismah (perlindungan dan penjagaan) di sini bukan berarti terhindar dari gangguan, penyiksaan, atau penindasan, tetapi arti ‘ismah (perlindungan) uang dijanjikan Allah dalam firmannya,
Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi. (Al-Maidah: 5)
Perlindungan itu berupa perlindungan dari pembunuhan atau dari segala bentuk rintangan dan perlawanan yang dapat menghentikan dakwah Islam.[9]
Sebanarnya pemahaman dan penilaian keliru sebab Nabi SAW tidak bersedih hati sedemikian rupa atas meninggalnya paman dan istri beliau. Rasulullah SW juga tidak menyebut tahun ini sebagai Tahun Duka Cita semata-mata karena kehilangan sebagian keluarganya, akan tetapi kerana bayangan akan tertutupnya hampir serluruh dakwah Islam setelah kematian kedua orang ini.[10]
Referensi
Nasution, H.M. Yunan , Muhammad Rasulullah, Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah, Cet.II, 1985
Yahaya, Mahayudin , Ensiklopedi Sejarah Islam, Malaysia: Penerbit University Kebangsaan Malaysia, Jilid.I, 1986
Al-Hasany an-Nadawy, Abul Hasan , As-Sirah an-Nabawiyah, (Terj.) Bey Arifin dan Yunus Ali Muhdar, Surabaya: PT. Bina Ilmu, Cet.I
Al-Mubarakfury, Syafiyyurrahman, Ar-Rahiqul Makhtum Bahtsun Fis Sirah an-Nabawiyah, (Terj.) Kathur Suhardi, Jakarta: Pusaka Al-Kautsar, , Cet.XIII, 2003
Chalil, Moenawar ,Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW, Jakarta: Gema Insani, Jilid.I, Cet.III, 2006
Sa’id Ramadhan Al-Buthy, Muhammad , Fiqhus Sirah; dirasat, manhajiah ‘Ilmiah Li Siratil Musthafa ‘Alaish Shalatu Was Salam, (Terj.) Aunur Rafiq Shasleh, Lc, Jakarta: Robbani Press, Cet.XIII
[1] H.M. Yunan Nasution, Muhammad Rasulullah, Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah, Cet.II, 1985, hal.89
[2] Mahayudin Hj. Yahaya, Ensiklopedi Sejarah Islam, Malaysia: Penerbit University Kebangsaan Malaysia, Jilid.I, 1986, hal.78
[3] Abul Hasan al-Hasany an-Nadawy, As-Sirah an-Nabawiyah, (Terj.) Bey Arifin dan Yunus Ali Muhdar, Surabaya: PT. Bina Ilmu, Cet.I, hal.97
[4] Ibid, hal.98
[5] Syaikh Syafiyyurrahman Al-Mubarakfury, Ar-Rahiqul Makhtum Bahtsun Fis Sirah an-Nabawiyah, (Terj.) Kathur Suhardi, Jakarta: Pusaka Al-Kautsar, , Cet.XIII, 2003, hal.159
[6] Ibid, hal.160
[7] KH. Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW, Jakarta: Gema Insani, Jilid.I, Cet.III, 2006, hal.357 (Para ulam tarikh berselisih pendapat tentang mana yang lebih dulu diantara kematian Khadijah dan Abu Thalib. Menurut keterangan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, keduanya wafat enam bulan setelah pemboikotan di Syi’ib, yaitu tahun ke-10 kenabian Muhammad. Namun, yang paling kuat adalah pendapat yang mengatakan Kahdijah wafat tiga hari kemudian setelah wafatnya Abu Thalib.)
[8] Syaikh Syafiyyurrahman Al-Mubarakfury, Loc.Cit.
[9] DR. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, Fiqhus Sirah; dirasat, manhajiah ‘Ilmiah Li Siratil Musthafa ‘Alaish Shalatu Was Salam, (Terj.) Aunur Rafiq Shasleh, Lc, Jakarta: Robbani Press, Cet.XIII, hal.119
[10] Ibid, hal.120